SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kasus dugaan pungutan liar (pungli) program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) Desa Kecik, Tanon, Sragen makin memanas.
Jengah namanya disebut dan dicatut oleh Kades, Sekretaris Daerah (Sekda) Sragen, Tatag Prabawanto akhirnya angkat bicara.
Sekda menegaskan dirinya tidak pernah mengizinkan atau merekomendasi Kades Kecik untuk menjalankan penyertifikatan PTSL diregulerkan.
Apalagi soal nominal uang tambahan biaya yang dijadikan dalih oleh Kades untuk menarik uang Rp 2,5 juta sampai Rp 3 juta ke puluhan warga.
“Dia waktu itu hanya bicara secara lisan waktu kunjungan Bu Bupati ke Kecik dari Pengkol. Dia bilang katanya kuota PTSL Kecik sudah habis. Terus katanya dia sudah bermusyawarah dengan pemilik untuk diregulerkan. Kami hanya mengatakan tapi semua harus prosedural. Ora kok jane iso PTSL tapi diregulerkan. Saya nggak pernah membicarakan nominal uang yo,” ujar Sekda dengan nada tinggi, Sabtu (23/10/2021).
Sekda kemudian menguraikan saat Kades sambat secara lisan itu, dirinya hanya minta kalau diregulerkan yang terpenting ada kesepakatan warga.
Kemudian kepada Bupati, saat itu Kades
juga secara lisan minta tolong karena PTSL Desa Kecik sudah habis, minta dibantu apabila masih ada kuota PTSL.
Sekda sama sekali tidak menyangka jika kemudian ada udang di balik batu di kemudian hari.
“Waktu itu minta tolong Bu Bupati kalau masih ada kuota PTSL. Saya nggak tahu kalau dibalik itu ada apa. Kita sama sekali nggak tahu,” tegas Sekda.
Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati menyampaikan sudah meminta Inspektorat untuk mengusut kasus dugaan penyimpangan program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) di Desa Kecik, Tanon.
Ia mengatakan saat ini kasus dugaan pungutan liar (pungli) jutaan rupiah yang diduga dilakukan Kades, sedang dalam proses penanganan di Inspektorat.
“Saya sudah perintahkan Inspektorat. Inspektorat sudah turun tangan soal kasus ini. Sekarang sedang dalam proses,” paparnya saat dikonfirmasi melalui pesan singkat WA, Jumat (22/10/2021).
Orang nomor satu di jajaran Pemkab Sragen itu menegaskan tidak pernah memberikan izin atau rekomendasi apapun ke Kades terkait proses penyertifikatan di Desa Kecik.
Termasuk soal kabar di warga yang menyebut ada klaim bahwa bahasa pengalihan reguler dari PTSL itu atas seizin bupati dan Sekda, Yuni tegas membantahnya.
“Kalau itu (seizin dirinya) mengada-ada,” jelasnya.
Sebelumnya, program PTSL di Desa Kecik, Kecamatan Tanon, Sragen menuai kisruh menyusul temuan warga terkait indikasi pungli oleh Kades.
Tak tanggung-tanggung, warga ditarik bayaran tambahan jutaan rupiah. Modusnya, warga dikelabuhi dengan bahasa kuota PTSL sudah habis. Dengan dalih itu, Kades kemudian mendatangi warga dan mematok tarif Rp 2,5 juta – Rp 3 juta sebagai biaya tambahan untuk mengurus lewat jalur reguler.
Padahal, berkas sertifikat warga itu oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak diproses reguler melainkan melalui PTSL.
Dugaan pungli itu terbongkar setelah sejumlah warga mengungkap tarikan tak wajar itu kepada wartawan, Jumat (22/10/2021).
Salah satu warga pemohon PTSL, Sugiyanto mengungkapkan dugaan pungli itu bermula ketika Desa Kecik mendapat kuota PTSL tahun 2020.
Setelah disosialisasikan ke warga, kemudian program itu dijalankan setelah dibentuk panitia tingkat desa.
Dari hasil pendataan, total ada 170 bidang tanah yang didaftarkan. Setelah itu dilanjutkan dengan musyawarah dan disepakati biaya per bidang sebesar Rp 600.000.
Sugiyanto ikut mendaftar untuk dua bidang tanah atas nama adiknya, Sulistya Puji Lestari dan Sarwoko. Namun seiring turunnya Surat Edaran (SE) Bupati soal biaya PTSL, kemudian panitia menurunkan biaya menjadi Rp 500.000 per bidang.
“Kemudian dalam perjalanannya, disampaikan bahwa program PTSL kena saving (pemangkasan) anggaran. Dari jumlah awal 170 bidang, masih sisa 68 bidang. Yang 102 bidang sudah selesai di 2020 dan sudah dibagikan, nah masih sisa 68 bidang,” terangnya.
Setelah membagikan 100an sertifikat yang jadi, lanjutnya, Kades kemudian menyampaikan bahwa bahwa kuota PTSL dari BPN untuk Kecik sudah habis.
Kemudian warga pemilik 68 bidang diminta datang ke rumah Kades dan disampaikan jika mau berlanjut maka akan diproses reguler. Sebagai biaya tambahan, warga diminta menyiapkan Rp 2,5 juta hingga Rp 3,5 juta.
“Awalnya adik saya ditelpun Pak Lurah kalau program PTSL kuotanya sudah habis. Saya suruh minta surat keterangan kalau PTSL sudah habis, tapi Pak Lurah nggak mau ngasih,” terangnya.
Karena penasaran, ia pun mengkroscek ke BPN Sragen dan berhasil menemui tim BPN yang menangani PTSL Kecik.
Hasilnya, ternyata dari tim BPN memastikan sisa 68 bidang itu tidak diajukan lewat proses reguler tapi tetap diproses melalui program PTSL.
Merasa sudah dikibuli, warga akhirnya mendatangi balai desa untuk menanyakan kejelasannya ke Kades. Semula Kades sempat berkilah.
Namun setelah ditunjukkan bukti daftar 68 bidang tetap diproses PTSL dari BPN, Kades baru mengakui jika PTSL Kecik memang dilanjutkan.
“Padahal warga sebagian besar sudah terlanjur membayar Rp 2,5 juta sampai Rp 3,5 juta. Kalau saya belum saya kasih karena tahu itu diproses PTSL, jadi baru bayar Rp 1 juta 2 bidang sesuai biaya awal 2020. Jadi Pak Kades saat itu gerilya door to door ada yang by phone, kalau pingin jadi sertifikat harus bayar DP 2,5 juta sampai Rp 3 juta dengan program reguler. Bahkan ada tetangga sebelah saya 4 bidang diminta Rp 14 juta,” terang Sugiyanto.
Atas kejadian itu, pihaknya menduga sudah terjadi penyalahgunaan wewenang dalam hal ini mengarah pungli.
Sebab dari awal Kades terkesan sudah tidak jujur dan seolah ingin memanfaatkan momen saving program PTSL untuk menarik biaya dengan dalih diregulerkan.
Lantas, ia juga menengarai telah terjadi pelanggaran administrasi dari pelaksanaan PTSL di Kecik. Sebab dari awal sampai kemudian dibubarkan usai proses 2020 selesai, ternyata panitia bekerja tanpa SK dari Kades. Pun dengan program PTSL di 2021, juga tidak ditangani oleh panitia.
“Bahkan waktu kami tanya, ketua panitia akhirnya menjawab memang nggak dibuatkan SK. Katanya panitia hanya mung dinggo formalitas. Apa-apa prosesnya semua tergantung Pak Lurah,” urainya.
Tak lama setelah modusnya terbongkar, Sugiyanto menyampaikan Kades kemudian diam-diam gerilya mengembalikan uang tarikan ke warga.
Meski sebagian menolak menerima, Kades tetap berusaha meninggalkan uang di rumah warga.
Berkas yang sebenarnya sudah di BPN kemudian ditarik kembali dan oleh Kades melalui panitia dikembalikan lagi ke warga. Hal inilah yang kemudian memicu kemarahan warga.
“Ada yang dikembalikan utuh, ada yang dipotong dengan alasan untuk biaya wira-wiri. Ini kan sudah nggak bener lagi. Lalu waktu kami datangi ke balai desa bulan Agustus katanya dia baru saja tahu kalau itu diproses PTSL. Lha padahal kami dari bulan Juni sudah tahu kalau program PTSL Kecik dilanjutkan. Kan hanya alibi saja karena sudah terlanjur ketahuan,” terangnya.
Atas indikasi itu, pihaknya meminta agar pihak terkait mengusut tuntas kasus PTSL di Desa Kecik. Jika ada penyimpangan, diminta diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Kemudian, sisa bidang yang dikembalikan oleh Kades, bisa diproses kembali oleh BPN. Sebab dampak dari tarikan jutaan itu, ada beberapa warga yang terpaksa mundur karena tak kuat membayar.
Ada pula yang hingga kini kebingungan karena sudah terlanjur membayar, tapi berkas dibiarkan mangkrak.
“Hasil kroscek kami ke BPN, dari 68 bidang yang diajukan itu, yang dinyatakan berpotensi jadi ada 59 bidang. Sisanya ada 5 yang nggak bisa jadi karena makam dan satu warga mundur karena tak kuat bayar. Nah yang 4 juga dikembalikan dengan alasan nggak lengkap. Padahal kalau dilengkapi saya yakin bisa diproses. Makanya selain diusut tuntas, harapan kami yang dikembalikan itu bisa diproses kembali melalui PTSL oleh BPN. Jangan sampai gara-gara ketidakberesan Kades, warga akhirnya jadi korban akhirnya berkas mangkrak dibiarkan. Kan kasihan,” tandasnya. Tim JSNews