JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Opini

SUGUH, LUNGGUH, ARUH, GUPUH

Khafid Sirotudin. Foto:dok
   

 

 

Oleh : Khafid Sirotudin*

Hujan gerimis pagi hari masih menghiasi Weleri. Seingat kami ini kali kedua hujan turun sebelum subuh, sejak awal musim penghujan tahun ini. Kami ditemani anak mbarep (pertama) bersiap-siap menuju Dukuh Tegalsari, Desa Sambongsari sebelah timur Sungai Kalikuto, perbatasan dengan Desa Mentosari, Kecamatan Gringsing, Batang. Kami sengaja meluangkan waktu khusus untuk _’iring-iring’_ (mengantar) calon pengantin laki-laki dari Tegalsari menuju Temanggung.

Hari ini, Selasa 21-12-2021 Rifky Khoirul Anam (Kiky) hendak melangsungkan pernikahan. Kiky (27 th) adalah teman sekelas Ossa, anak pertama kami di SMP Muhammadiyah Weleri. Kiky juga Sarjana Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang fokus mempelajari vegetasi pakan lebah, khususnya klanceng. Skripsinya tentang hasil penelitian penataan tanaman pakan klanceng di Gunung Kidul, Yogyakarta.

Dia menikah dengan Dwi Ega Saputri, S.Pd.I (23 th) alumni STIT Muhammadiyah Kendal yang tiga hari lalu diwisuda (18/12/2011). Konon awal perkenalan keduanya terjadi di kampus STITMu Kendal, 2 tahun lalu, saat Kiky mengisi kegiatan IMM di sana.

 

Desa Mawa Cara

Pepatah Jawa mengatakan ‘negara mawa tata, desa mawa cara’ (setiap negara dan setiap desa memiliki norma sendiri). Begitu juga dengan adat istiadat dan budaya setempat yang berkaitan dengan perkawinan. Ratusan acara pernikahan pernah kami ikuti di berbagai daerah di Jawa Tengah, DIY dan Jatim. Masing-masing daerah memiliki keunikan, meski masih dalam satu provinsi atau kabupaten.

Baca Juga :  Optimalisasi Penerapan Literasi Digital pada Pendidikan Anak Usia Dini 

Bukan soal syarat dan rukun pernikahan sebagaimana telah diatur dalam UU Perkawinan maupun norma agama. Namun soal budaya dan adab yang melingkupi penyelenggaraan sebuah hajatan pernikahan. Sejak prosesi lamaran, penentuan hari dan tanggal, kegiatan pra pernikahan, akad nikah, walimahan, resepsi serta adab _”suguh, lungguh, aruh, gupuh”_ (suguh=jamuan, hidangan, lungguh=tempat duduk, aruh=sambutan dan gupuh=pelayanan tamu).

Kami sendiri memiliki beragam pengalaman menarik dari 5 kali menyelenggarakan acara pernikahan. 4 kali menikahkan adik-adik (3 putra, 1 putri) dan sekali menikahkan anak kami. Kebetulan besan kami berbeda daerah asal, yaitu Pemalang, Pekalongan, Kendal, Grobogan dan Semarang.

Begitu juga yang kami jumpai hari ini di Desa Nglarangan, Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung. Kami dan rombongan dari Weleri tiba di rumah calon pengantin putri jam 09.00 WIB. Satu setengah jam sebelum acara akad nikah dilaksanakan (jam 10.30 WIB).

Setelah semua tamu duduk, dilakukan prosesi ‘pasrah’ (penyerahan) calon pengantin putra dan penyerahan mas kawin (mahar). Dilanjutkan dengan ‘tampi’ (penerimaan) calon pengantin oleh shahibul bait (tuan rumah). Selanjutnya istirahat dan semua tamu yang hadir disajikan suguhan/jamuan makan.

Semua piring berisi lauk-pauk ditata berjajar dua baris. Masing-masing orang disajikan sepiring nasi. Lauk pauk dipersilahkan mengambil sendiri di meja sesuai selera.  _”Teng mriki jenenge ‘rong asahan’ (disini namanya dua kali mencuci)”_ sapa pak Teguh sambil mempersilahkan kami untuk menikmati hidangan yang sudah tertata _’dua baris’_ di meja.

Baca Juga :  Optimalisasi Penerapan Literasi Digital pada Pendidikan Anak Usia Dini 

Pak Teguh adalah mertua Rifky, shahibul hajat yang sebentar lagi akan menikahkan putrinya, Ega. Selain mantan Kepala Desa (2011-2017), beliau juga pensiunan ASN, guru Sekolah Dasar Negeri Nglarangan. Rumahnya hanya berjarak 50 meter dari Balai Desa.

Setelah rombongan tamu besan dari Weleri selesai menikmati hidangan (suguh) ‘mabes’ (makan besar) yang disediakan, berikutnya acara ramah tamah sambil menunggu Petugas dari KUA Tretep datang. Semua sajian ditarik dari meja dan diganti dengan aneka kudapan pangan lokal. Sebagian berbahan ketan/tepung ketan. Ada lemper, jenang ketan, wajik dan ‘moto kebo’ (mata kerbau) sejenis kue basah dari tepung ketan yg diisi kacang hijau.

Bagi masyarakat Jawa kudapan berbahan baku ketan merupakan suguhan yang wajib disajikan dalam sebuah perjamuan pernikahan. Seperti sajian mie dalam tradisi jamuan masyarakat China. Kami sering  menyampaikan pepatah: _”lain ladang lain tanaman, lain budaya lain makanan”_. Setiap daerah memiliki budaya pangan sendiri.

Seiring perkembangan jaman, aneka suguhan pangan lokal dikemas dengan berbagai bentuk, rasa dan penampilan. Namun tetap tidak menghilangkan nilai-nilai budaya lokal yang baik. Ketan selain melambangkan _’kerekatan hubungan’_ juga sebagai simbol penghormatan tuan rumah atas suguh dan gupuh kepada tamu yang datang. Sejalan dengan nilai agama “barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tamumu” (hadits shahih).

 

*Penulis adalah Pemerhati Pangan, Owner Tritisan Coffee and Tea Weleri, Pembudidaya Klanceng

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com