Beranda Daerah Solo Irama Batik Ratu Kembang Katjang, Sebuah Film Pendek untuk Waldjinah Sang Maestro...

Irama Batik Ratu Kembang Katjang, Sebuah Film Pendek untuk Waldjinah Sang Maestro Keroncong

Waldjinah saat memotong tumpeng menandai launching silm pendek. Foto: dok

 

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM –Maleopict Production House merilis garapan terbarunya, sebuah film pendek untuk Maestro Keroncong yang berasal dari Solo, Waldjinah.

Rilis film diadakan di Galeri Batik Walang Kekek yang beralamat di Jl. Parang Cantel No 31 Mangkuyudan, Surakarta ini bertepatan dengan ulang tahun ke 7 CV Mawar Magenta sebagai induk dari Maleopict Production House.

Film pendek tribute to Maestro Keroncong Waldjinah mengambil setting Kota Solo dengan setiap sudutnya yang memberikan rasa hangat sebagai ‘rumah’.

Film pendek yang juga mendapat dukungan dari Bank BNI ini mengangkat citra Waldjinah yang selalu mengenakan kain batik (jarik) dan kebaya sejak ia mulai berkarir di dunia seni musik keroncong. Meski zaman terus berubah Waldjinah dan kebaya nya tidak berubah.

Berkarir sejak usia 12 tahun, pada tahun 1958 Waldjinah memberanikan diri mengikuti kontes Bintang Radio RRI. Sejak dari itu Waldjinah memakai kain batik. Dan masih tersimpan rapi hingga sekarang meskipun sudah ada bagian yang robek karena termakan usia.

Motif Kembang Kacang menjadi motif favorit Waldjinah. Pada kejuaraan menyanyi pertama yang diikuti oleh Waldjinah ini ia menjadi juara pertama dan mendapat julukan sebagai Ratu Kembang Kacang. Nama Batik Kembang Kacang sebagai penanda awal karirnya menuju penyanyi keroncong profesional.

Ada kisah menarik di balik batik kembang kacang ini.  Berasal dari keluarga pembatik, saat mengikuti festival kejuaraan Bintang Radio tersebut, Waldjinah diberi kain batik motif sandang pangan oleh saudaranya. Batik tersebut dibuat oleh keluarga jauh sebelum Waldjinah mengikuti kejuaraan.

Kain batik ini berusia hampir 100 tahun ini memiliki kisah yang begitu dalam bagi Sang Maestro Keroncong. Hingga saat ini, Waldjinah masih menyimpan pola-pola batik peninggalan dari ibunya, mbakyu-nya (kakak perempuan)  dan kang mas nya (kakak laki-laki).

Kain batik terus dikenakan Waldjinah hingga saat ini. Bahkan setiap tahun, sebagai penghargaan untuk sang Maestro, setiap 17 Agustus Waldjinah mendapat undangan untuk ikut upacara di Istana Negara, ia tetap mengenakan kebaya dan kain batik.

Baca Juga :  Sekolah Rakyat Solo Siap Beroperasi Juli, Angkatan Pertama Tampung 200 Siswa Miskin Desil 1 & 2

Selain motif Kembang Kacang, Waldjinah terus mengenakan batik-batik tulis buatan keluarganya dalam berbagai kesempatan. Seperti motif Kembang Kantil yang dikenakan oleh Waldjinah saat mendapatkan penghargaan sebagai Ratu Keroncong Indonesia dari Presiden Pertama RI Ir Soekarno pada tahun 1965.

“Kain batik tulis motif Kembang Kantil merupakan lambang cinta manusia kepada Tuhan dan kepada sesama,” tutur Waldjinah.

Saat mengikuti kejuaraan tersebut Waldjinah dalam kondisi hamil dan mendapatkan nama dari Presiden Soekarno untuk sang anak, Bintang.

“Tidak hanya Presiden Soekarno, waktu Wali Kota Joko Widodo kami mendeklarasikan Solo sebagai Kota Keroncong bersama alm. Pak Gesang,” ungkap Waldjinah.

Bukan tanpa alasan, kain – kain batik yang dikenakan saat tampil menyanyi sebagai lambang kecintaan Waldjinah pada Indonesia.

“Kain batik yang dibuat oleh kakak saya pertama kali dikenakan ketika menyanyi di Istana Negara pada saat upacara peringatan Kemerdekaan 17 Agustus,” jelas Waldjinah.

Setelah itu pada setiap upacara peringatan kemerdekaan Waldjinah selalu mengenakan batik motif Gurdo, antara lain : Motif Bima Kurda yang dikenakan Waldjinah saat memenangkan lomba Bintang Radio. Bima memiliki makna hebat dn kuat dan kurda atau garuda merupakan lambang negara Indonesia.  Motif Kurda Truntum dan Gurdo Ageng, Motif Garuda latar Truntum dan Kurda Ageng.

Motif Payung merupakan motif akulturasi budaya jepang yang menggambarkan keelokan dan pengayom.  Polanya adalah peninggalan keluarga Waldjinah yang dibuat tahun 1950 an.  Motif langka dan ekslusif ini diwujudkan menjadi kain batik yang indah, detail dan cantik dengan warna alam sogan.

Motif Ikan Koi juga pola peninggalan keluarga Waldjinah. Dibuat pada 1 September 1958. Motif Ikan Koi adalah akulturasi budaya jepang yang memiliki pesan pembawa keberuntungan untuk pemiliknya.“Nama-nama batik ini saya ambil berdasarkan kecintaan pada negara tercinta,” katanya.

Dengan memakai kain yang dikenakan hingga di luar negeri,  Waldjinah mengungkapkan pernah mengalami pengalaman unik. “Orang luar negeri yang bertemu selalu menyebut saya Indonesia, walau tidak tahu nama saya. Terus saya berpikir kalau mereka mengenal orang Indonesia dari batik jadi sampai sekarang saya pakai kain,” kenangnya.

Baca Juga :  Sisan Lakune: Iseng-iseng Berhadiah, Rismon Cek Tempat KKN Jokowi di Wonosegoro Boyolali

Selama berkarir Waldjinah telah menyanyikan 1600 judul lagu. Selama itu pula Waldjinah selalu mengenakan batik sebagai identitas busana Indonesia.

Terdapat kurang lebih 500 motif batik yg sudah menemani perjalanan karir Waldjinah. Seluruh kain batik tersebut kini terawat baik di Galeri Walang Kekek.

“Pesan saya untuk generasi muda jangan melupakan batik dan sejarah menyanyi keroncong. Karena batik dan keroncong itu kepunyaan kita sendiri, harus di uri-uri,” pesan Waldjinah.

Produser film dokumenter Waldjinah, Irama Batik Ratu Kembang Katjang, Aria Bima mengungkapkan, sang maestro ini terus mentradisikan, mempopulerkan batik untuk disukai oleh rakyat Indonesia.

“Sejak beliau menyanyi pertama kali tahun 1958. Beliau tidak hanya maestro keroncong. Tapi ternyata pas saya lihat kedalaman beliau mengenai seni itu luar biasa. Tidak hanya membawa seni keroncong sebagai ekspresi jiwa bangsa kita tapi juga membawa ekspresi batik yang merupakan peninggalan para leluhur kita yang ternyata batik ini sangat korelatif dengan jiwa nasional negara kita,” ungkap Aria Bima. (asa)

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.