SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Bagi Sumiyem atau yang akrab disapa Bu Keblak, usia bukanlah halangan untuk terus beraktifitas.
Setiap hari, raganya yang sudah tua itu pun nyaris tak pernah absen untuk menyambangi Pasar Kembang, Solo.
Di sanalah ia mengais rezeki demi menyambung hidup dirinya dan keluarganya. Dari orang- orang yang hendak berziarah dan memerlukan bunga tabur hingga orang-orang yang punya hajat manten, dari sanalah rezekinya mengalir.
Hari demi hari terus melaju, nyaris tak pernah ia menghitung waktu. Sampai tak terasa usianya kini menginjak 77 tahun. Usia, yang bagi wanita kebanyakan saat untuk beristirahat menikmati hari tua.
Tapi tidak bagi Sumiyem. Setiap subuh kakinya terus setia melangkah, mulutnya terus menyapa menjemput asa sembari tak lupa memanjat doa.
Dari rumahnya di Cemani Baru, Gang Nogo, RW 14 ia bertolak ke Pasar Kembang Solo untuk mengais rezeki. Sumiyem termasuk pedagang tadisional yang tak begitu rigid soal omzet, keuntungan atau malah usia.
Sampai-sampai, ia tak menyadari bahwa dirinya menjadi pedagang paling tua di Pasar Kembang untuk saat ini. Meski di atas kertas paling tua, namun nyatanya di Pasar Kembang itu ia tak kalah gesit dari yang muda-muda untuk berburu rezeki.
“Ini bunganya dari Boyolali sama Bandungan. Biasanya kalau saya telepon, nanti dikirimi tiap pagi. Bisa sampai 2-3 buntel bunga. Kalau rame saya ambil 5 buntel. Satu buntelnya harganya satu jutaan,” tuturnya sambil menata-nata bunga jualan.
Sumiyem mengakui telah berjualan bunga di Pasar Kembang Solo semenjak dirinya belum menikah. Sekalipun suaminya kini sudah meninggal, Sumiyem tetap berjualan bunga. Bahkan profesi ini menjadi tumpuan utama bagi keluarganya.
Sumiyem mengawali profesinya sebagai penjual bunga buket. Namun seiring waktu, ia lebih memilih jualan bunga tabur.
“Dulu itu saya jualan bunga buket. Sekarang sudah nggak mau, saya jualan bunga tabur saja,” ujar Sumiyem.
Ia memang tak begitu rigid soal keuntungan, selain hanya pasrah pada yang di Atas. Entah karena sikap ikhlasnya itulah, Sumiyem mampu membiayai kehidupan keluarganya.
“Bunga itu saya rasakan bisa mencukupi kebutuhan saya apa saja. Padahal jualan saya ya cuma bunga ini,” katanya.
Menurut Sumiyem , jualan bunga tidak dapat dihitung berapa keuntungan ataupun omset per bulannya.
“Keuntungannya tidak dapat dihitung, yang penting cukup. Kebutuhan saya apa cukup dari kembang ini. Misal butuh apa bisa cari di sini. Jadi nggak bisa ngukur untungnya berapa. Menghidupi keluarga bisa, anak 10 pun cukup. Kadang orang beli bunga Rp 10.000 asatu Rp 20.000, jadi untungnya betapa nggak tahu,” bebernya.
Di lapak yang berada di dalam Pasar Kembang, berukuran 3 ×3 meter tersebut, Sumiyem menjajakan beraneka ragam jenis bunga.
“Ini ada bunga tabur, bunga manten, hingga melati. Fungsinya bisa untuk nyekar (orang meninggal), wetonan, bisa juga untuk sesirih,” jelasnya.
Sumiyem memang tak mendorong anak-anaknya untuk menjadi penjual bunga sebagaimana yang ia jalani selama ini. Namun faktanya, dari 10 orang anaknya, rata-rata memang berprofesi sebagai penjual bunga maupun dekorasi bunga.
“Di sni saya jualan sama anak. Kalau di rumah sendiri, anaknya sudah beda-beda rumahnya. Tapi rata-rata anak saya profesinya tidak jauh dari bunga. Ada yang dekor bunga, anak saya kedua buka toko bunga Naomi. Nomer 3 toko bunga Trisnowati. Lalu yang ragil punya toko Jede Bloom, hingga ada yang jualan di Pacitan,” terangnya.
Puluhan tahun berjualan bunga, Sumiyem menyebut berjualan bunga dapat membuat hatinya tenang dan ayem.
“Saya sukanya karena jualan bunga itu bikin adhem. Jualan bunga itu tidak kemrungsung. Anak saya malah bilang, nggak laku ya sudah, yang penting ibu senang. Kalau nggak punya uang ya dikasih sama anak dan saya disuruh libur. Tapi saya nggak mau libur,” pungkasnya. Ando