BOYOLALI, JOGLOSEMARNEWS.COM — Tradisi padusan menjelang Ramadhan atau bulan puasa masih dilakukan masyarakat hingga kini. Seperti di Boyolali kali ini, padusan digelar pada Selasa-Rabu (21-22/3/2023). Masyarakat ramai- ramai membersihkan diri dengan mandi di umbul atau pemandian agar bersih.
Tradisi padusan ternyata memiliki sejarah panjang sejak zaman kuno. Menurut pegiat sejarah Boyolali, Surojo, padusan merupakan tradisi yang sudah berkembang pada masa Hindu. Dimana saat itu, kaum ksatria yang akan melakukan ritual khusus biasanya membersihkan badan atau mandi terlebih dahulu.
Mereka mandi di sumber air yang ada. “Diharapkan, dengan mandi tersebut maka baik badan atau raganya menjadi bersih. Dengan diawali mandi tersebut maka ritual yang akan dijalani terkait peningkatan kesaktianya atau ritual batin diharapkan bisa berjalan lancar,” ujarnya, Selasa (21/3/2023).
Setelah kejayaan Hindu surut dan muncul kerajaan Islam, maka kegiatan mandi tersebut masih tetap dilakukan masyarakat. Jadilah tradisi padusan yang asal katanya dari kata adus yang berarti mandi. Namun tradisi ini kemudian disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Dimana masyarakat mandi menjelang Ramadhan atau bulan puasa. Karena dulu, mandinya langsung di sumber air atau umbul, maka sekarang pun masyarakat tetap memilih padusan di sumber air atau pemandian yang ada di lingkungannya.
Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta, Gusti Mung, mengakui, tradisi padusan sudah diawali dari Keraton. Dan Umbul Ngabeyan, Banyudono yang digunakan untuk padusan masyarakat saat ini sebenarnya adalah tempat pemandian raja.
“Umbul ini dibangun oleh Pakubuwono X pada 1893-1939,” terangnya
Baru setelah itu, masyarakat luas mengikuti tradisi ini. Tradisi ini mulai digalakan lagi di tiap Pemerintah Daerah untuk mengangkat kembali warisan budaya leluhur.
“Karena dulu Keraton jadi pusat pemerintahan. Jadi kalau Sinuwun belum padusan, rakyatnya juga belum padusan. Dan ini dikembalikan, program untuk mengangkat kembali budaya yang merupakan satu-satunya yang bisa mempererat persaudaraan di seluruh Indonesia,” tandasnya.
Gusti Moeng memaknai padusan sebagai simbol penyucian diri. Tidak hanya secara lahiriah namun, juga batiniah. Karena tiap akan memasuki Ramadhan harus menyucikan diri lahir dan batin. Meski dari tradisi padusan, yang divisualkan pembersihan secara lahiriah, namun pembersihan diri juga mencakup batiniah.
“Peradaban Islam telah menyatu dengan budaya Jawa. Seperti puasa, dulu ada sesirih, mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan tradisi padusan sudah pasti di Jawa yang dikaitkan dengan apa yang kita lakukan sebagai umat Islam yaitu puasa,” pungkasnya. Waskita