JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Opini

Fenomena Pengemis di Jalanan

Ilustrasi | pixabay
   

Jumlah penduduk di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami pertambahan yang cukup signifikan.  Pada tahun 2021,  jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 273,8 juta jiwa, dan pada tahun 2022 meningkat menjadi 275,5 juta jiwa.

Jumlah itu masih melonjak lagi menjadi 280,7 juta jiwa pada tahun 2023.  Sayangnya, pertambahan jumlah penduduk tersebut tidak diikuti dengan perkembangan tingkat kesejahteraan.

Yang terjadi justru fenomena sebaliknya, di mana tingkat kemiskinan di Indonesia masih memprihatinkan.  Salah satu fakta yang dapat dilihat di lapangan, masih banyak pengemis terlihat di persimpangan jalan di sudut-sudut kota.

Para pengemis itu pun memiliki latar belakang yang bermacam-macam, baik laki-laki, perempuan, tua muda mapun yang masih anak-anak.  Adapun cara  mereka  meminta  uang  ke pengendara juga bermacam-macam.

Ada pengemis yang langsung menadahkan tangan meminta uang ala kadarnya. Ada pula yang menggunakan sarana hiburan alakadarnya,  mulai dari gitar kecil (kentrung/ukulele),  ecrek-ecrek, atau ada pula yang hanya menggunakan botol diisi pasir dan diguncang-guncang.

Jika hujan turun, mereka menggunakan cara lain lagi. Mereka membawa botol berisi cairan sabun. Cairan itu disemprotkan ke kaca mobil yang tengah berhenti di lampu merah, yang busanya akan tersapu oleh weeper dan harapanya kaca menjadi bening.

Cara lain yang banyak digunakan, anak-anak membawa kemoceng. Begitu lampu merah menyala, mereka akan menyerbu mobil-mobil yang berhenti dan mengebuti kaca depan, samping dan belakang, sebelum akhirnya menadahkan tangan meminta imbalan.

ata BPS pada Maret 2022 menunjukkan,  Indonesia memiliki masyarakat miskin sebanyak 26,36 juta jiwa. Memang, pada bulan yang sama pada tahun 2023, jumlah masyarakat miskin di Indonesia menurun menjadi 25,90 juta jiwa. Namun tetap saja, tingkat kemiskinan di Indonesia cukup memprihatinkan.

Setidaknya ada dua jenis faktor penyebab kemiskinan, yaitu faktor internal dan eksternal.  Faktor internal yang menjadi pemicu terjadinya kemiskinan di Indonesia adalah faktor kemalasan untuk bekerja dan faktor sifat boros yang dimiliki masyarakat.

Baca Juga :  Joe Biden Ajukan Gencatan Senjata: Harapan Baru Perdamaian Timur Tengah

Banyak warga yang sebenarnya masuk golongan kurang mampu namun memiliki konsumsi yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan pokok. Bisa diambil contoh, rokok dan minuman keras.  Yang terjadi, kedua produk tersebut seolah identik dengan kehidupan masyarakat dari golongan ekonomi bawah.

Demikian pula dengan kebiasaan berjudi. Dalam logika yang paling sederhana, jika permainan judi bisa “nembus”,  maka seseorang bisa mendapat keuntungan yang sangat besar.

Namun fakta yang terjadi, semakin orang terjerumus dalam judi, bukannya menjadi kaya raya.  Sebab keberuntungan ternyata tidak selalu menyertai orang-orang yang suka bermain judi.  Kenyatannya, judi tidak bisa membuat masyarakat menjadi kaya, namun sebaliknya, justru membuat ekonomi masyarakat makin terpuruk.

Permainan judi pun dari waktu ke waktu mengalami perkembangan pesat. Mulai dari judi Capjikie, hingga sekarang di era digital judi dilakukan secara online.  Dilansir dari jaringan situs DPR, pada tahun 2024 diketahui jumlah pengguna judi online menjadi 201.122 orang.

Sementara dilansir dari berita CNBC, dari semua pengguna judi online di Indonesia, uang  yang dikeluarkan untuk judi online berhasil mencapai Rp 427 triliun.

Faktor eksternal penyebab kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan yang diwariskan oleh keluarga. Sulitnya mendapatkan pekerjaan serta masyarakat yang belum menerima bantuan dari pemerintah juga menjadi faktor pemicu kemiskinan.

Sulitnya   mendapatkan   pekerjaan   disebabkan   oleh   lapangan   pekerjaan   yang   terbatas sedangkan jumlah penduduknya semakin banyak.  Masyarakat yang tinggal di pedalaman dan jauh dari jangkauan, biasanya menjadi masyarakat yang belum tersentuh bantuan dari pemerintah.

Hal itu disebabkan akses yang terbatas, yang  menyebabkan distribusi bantuan ke masyarakat pedalaman terhambat. Kendala-kendala tersebut masih diperparah dengan adanya kasus-kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) yang dilakukan oleh oknum pejabat.

Tentu saja, berbagai persoalan di atas menjadi hambatan bagi Pemerintah untuk mencapai tujuan negara seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang salah satunya memajukan kesejahteraan umum.

*****

Kemiskinan  merupakan  keadaan  di mana  masyarakat  tidak  mampu  mencukupi kebutuhan dalam waktu yang lama. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan primer yang merupakan bahan konsumsi, tempat tinggal, dan pakaian.

Baca Juga :  Joe Biden Ajukan Gencatan Senjata: Harapan Baru Perdamaian Timur Tengah

Penyebab banyaknya pengemis di Indonesia adalah karena ekonomi masyarakat yang rendah. Masyarakat  miskin  yang ekonomi rendah terpaksa mencari nafkah dengan mengemis. Selain itu, masyarakat  mengemis  karena  mereka  belum  mendapatkan  pekerjaan.

Selain  karena  lapangan pekerjaan yang sedikit, sebagian masyarakat miskin belum mencukupi persyaratan kerja.

Seseorang mengemis bukan berarti yang bersangkutan tidak bisa bekerja. Sebagian perusahaan menerima lapangan pekerjaan untuk semua kalangan, termasuk orang miskin, tetapi sebagian pengemis lebih memilih tetap menjadi pengemis.

Alasan utama sebagian pengemis lebih memilih sebagai pengemis adalah karena uang yang dihasilkan dari mengemis dirasa lebih menguntungkan daripada bekerja. Mereka rela dianggap miskin selama mendapat uang dari pengendara mobil di persimpangan jalan.

Berbeda dengan penjual koran dan Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas (Supeltas) di persimpangan jalan, pengemis tidak memberi kontribusi apapun kepada pengendara. Penjual korang memiliki kontribusi dengan menambah wawasan pengendara mengenai informasi terkini melalui koran yang dijualnya.

Adapun Supeltas berjasa membantu pengguna jalan di persimpangn yang macet, sehingga bisa melintas dengan aman dan lancar. Begitupun dengan juru parkir, mereka memiliki kemanfaatan yang dapat dirasakan oleh pengendara.

Dalam sebuah unggahan di media sosial (Medsos) atau di media mainstream bahkan ada fenomena yang mencengangkan. Ada pengemis bisa mendapatkan uang Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta dalam sehari, hanya  dengan mengemis saja.

Bahkan, ada pula pengemis yang memiliki uang simpanan sampai miliaran rupiah, yang itu semua diraih hanya dengan cara mengemis.

Tentu saja, fenomena seperti ini tidak sehat dan memicu keresahan di tengah masyarakat. Pasalnya, masyarakat yang bekerja dengan sekuat tenaga justru memiliki pendapatan lebih rendah ketimbang pengemis yang hanya berdiam diri menadahkan tangan di persimpangan jalan. [*]

Henk Galvin Farrandy

Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

 

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com