Beranda Umum Nasional Kurawal Foundation Nilai Jokowi Tak Punya Ideologi, Selain Cuma Strategi Dagang untuk...

Kurawal Foundation Nilai Jokowi Tak Punya Ideologi, Selain Cuma Strategi Dagang untuk Ambil Keuntungan

Presiden Joko Widodo | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Baliho bergambar Jokowi dan Iriana yang akan purnatugas dan dipasang di Jalan Adi Sucipto, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, memuai polemik.

Pasalnya, dalam baliho yang dibuat oleh  relawan Alap-Alap Jokowi yang pernah mengusung ideologi Jokowisme itu menyebut Jokowi sebagai guru bangsa.

Suasana menjadi heboh ketika foto baliho tersebut dibagikan pengguna X @Boediantar4, pada Kamis, 3 Oktober 2024.

“Terima kasih Pak Jokowi & Bu Iriana. Teruslah menjadi Guru Bangsa. Doa kami selalu,” demikian bunyi tulisan dalam Baliho tersebut.

Sebelumnya, Alap-Alap Jokowi juga mengusung ideologi Jokowisme dalam musyawarah nasional (Munas) pertama, pada Sabtu (27/7/2024), di Karanganyar.

“Munas ini bukan sekadar seremonial. Kami sangat serius mengelola jaringan relawan dengan meletakkan ideologi Jokowisme, yakni ideologi kebangsaan yang mengandung nilai-nilai keteladanan kerja untuk rakyat,” kata Ketua Umum Relawan AAJ, Muhammad Isnaini, kala itu.

Ilusi “Banal” Jokowisme

Kurawal Foundation pernah mengeluarkan Laporan Tahun 2023 Tegak Lurus Menolak “Jokowisme”, Jokowisme adalah sebuah cara bertindak yang tidak dibimbing oleh keyakinan apa pun.

Jokowi tidak pernah memegang ideologi apa pun karena tidak memiliki pandangan terhadap dunia sosial dan politik. Jokowi tidak pernah belajar, kecuali berdagang untuk mencari keuntungan, tetapi tidak berakhir menjadi kapitalis.

Andi Budiman dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menegaskan dengan jujur, Jokowisme tidak bersandar pada ideologi apa pun. Jokowi adalah politisi tanpa core, keyakinan, atau adeg-adeg.

Jokowi bagaikan pencuri yang menjadikan kesempatan dan peluang sebagai pembimbing berpolitik. Jokowi adalah oportunis yang sangat cepat melihat peluang dan cepat mengeksekusi karena memiliki latar belakang dari berdagang.

Baca Juga :  Tak Beda Jokowi,  Presiden Prabowo Juga Dituding Cawe-Cawe di Pilkada 2024, Ini Dalih Dasco, Namun Istana Masih Bungkam

Jika Jokowi tidak memperlihatkan keyakinan apa pun, lalu apa yang bisa dipakai mendefinisikannya sebagai politisi? Proksi akurat untuk menakar Jokowi sebagai politisi adalah tindakan sebagai populis.

Jokowi membangun mitos sebagai anak kampung dari keluarga jelata. Imagi ini mengharubiru kaum liberal dan kelas menengah perkotaan yang secara kultural selalu merindukan kisah “Cinderella”. Jokowi adalah Cinderella. Secara kebetulan, imaji ini juga lahir di politik Amerika Serikat melalui Presiden Barack Obama.

Jokowi langsung menjadi populis yang mengawali karier sebagai antitesis kalangan elit dan tidak terlibat Orde Baru, tidak seperti lawan politiknya. Faktor-faktor ini yang membuat kaum aktivis pro-demokrasi hampir seluruhnya mendukung Jokowi karena disebut sebagai “presiden para aktivis”.

Jokowi menjadi simbol kemenangan reformasi, meskipun berakhir sebagai kemenangan semu. Jokowi menerjemahkan populisme dalam program-program kesejahteraan untuk kaum miskin, seperti Bansos, BLT, Kartu Pintar, Kartu Sehat, dan kartu lainnya.

Jokowi juga diam-diam melanjutkan program Presiden SBY dalam pembangunan infrastruktur. Jokowi paham pembangunan infrastruktur populer bagi rakyat. Selain itu, Jokowi menghitung perusahan negara memiliki semua hal untuk membangun infrastruktur. Dua cara utama ini berupa populisme dan infrastrukturalis yang menjadi ciri Jokowisme.

Selain itu, Jokowisme juga dicirikan dengan ketidakpedulian terhadap nilai, prinsip, dan proses demokrasi. Bagi Jokowi, semuanya adalah kesempatan: jika ada celah dalam sistem, maka itu harus dimanfaatkan; jika menjadi penghalang, maka harus dirobohkan. Jokowi tidak memiliki persepsi pemilu adalah proses demokrasi.

Baca Juga :  Projo Pasang Badan Bela Budi Arie Setiadi dari Tuduhan Judi Online

Bagi Jokowi, Pemilu adalah cara mendapatkan suara 50+1 sehingga mendapat mandat memerintah. Pemahaman itu berkembang ketika MK meloloskan Gibran sebagai wakil presiden dan MA memudahkan Kaesang maju Pilkada. Tidak ada sedikit bayangannya bahwa politik memerlukan etika, tetapi hanya adu kekuatan.

Jokowisme adalah pandangan anti-intelektualisme. Artinya, intelektualisme tidak pernah ada dalam pikiran Jokowisme. Ini adalah ideologi tentang kekosongan ideologi; kemiskinan ide; kehampaan intelektualitas; dan keinstanan cara berpikir.

Jokowisme bisa bertahan karena patronase dagang yang dilakukan Jokowi dengan menguntungkan kekuatan politik rente untuk mengakses dan mengontrol sumber daya kekayaan negara. Kekuatan ini tidak melihat kepentingan publik. Oleh karena itu, setelah hampir 10 tahun dijerat muslihat, terlihat jubah baru kaisar Jokowisme hanya ilusi banal.  

www.tempo.co