
SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ada luka yang tak akan pernah sembuh oleh waktu. Ada kehilangan yang tak sanggup dijelaskan dengan kata-kata. Tragedi ini menyisakan duka mendalam — tak hanya bagi keluarga korban, tapi juga bagi nurani kebangsaan kita. Hampir semua media, baik cetak maupun daring, menyoroti peristiwa memilukan yang merenggut 13 nyawa dalam ledakan amunisi di Garut; sembilan di antaranya adalah warga sipil, dan empat lainnya merupakan prajurit TNI.
Ironis dan menyayat hati, sebab mereka gugur bukan di garis depan pertempuran melawan musuh, bukan dalam misi mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar. Mereka justru kehilangan nyawa di tanah airnya sendiri, oleh ledakan yang seharusnya terkendali — dalam operasi yang mestinya rutin dan (mestinya) aman.
Selain membawa kesedihan bagi keluarga, tragedi Garut ini tentu saja menjadi ironi yang menyakitkan bagi para prajurit yang gugur. Sebab bagi seorang tentara, kematian di medan laga adalah sebuah kehormatan. Sementara dalam kasus ini, mereka gugur, diduga akibat kelalaian atau kesalahan teknis dalam proses peledakan amunisi kedaluwarsa — sebuah prosedur yang seharusnya telah menjadi bagian dari rutinitas militer yang terlatih.
Yang membuat luka ini semakin dalam adalah kenyataan bahwa sembilan warga sipil turut menjadi korban dalam ledakan mesiu tersebut. Dari pengakuan warga setempat, sebagian dari mereka bahkan telah puluhan tahun ikut terlibat membantu dalam proses peledakan amunisi kedaluwarsa — sebuah keterlibatan yang selama ini berlangsung tanpa insiden, hingga akhirnya berubah menjadi bencana.
Entah dari mana bermulanya, namun seiring berjalannya waktu, sepertinya telah terjadi simbiosis antara warga sipil dan TNI dalam proses peledakan amunisi kedaluwarsa ini.
Kedua pihak seolah-olah saling berkelindan dan membutuhkan. Di satu sisi, warga sipil merasa terbantu secara ekonomi dari proses peledakan itu, karena mereka bisa mengumpulkan serpihan-serpihan amunisi yang sudah meledak, yang kemudian dijual ke pengepul. Keberlanjutan keterlibatan yang semula dianggap sebagai hal biasa itu, kini justru memperlihatkan betapa rapuhnya pengawasan terhadap keselamatan, hingga akhirnya membawa tragedi ini.
Andaikata proses peledakan amunisi berjalan lancar, simbiosis ini mungkin akan terus berlangsung dengan aman. Namun nasib berkata lain, rotasi dan siklus yang selama ini terjalin akhirnya terganggu dengan terjadinya tragedi ini.
Kini, berbagai pihak mulai mempertanyakan keberlanjutan simbiosis antara warga sipil dan TNI tersebut. Apakah pelibatan warga sipil dalam proses yang berisiko tinggi ini sebenarnya dibenarkan menurut aturan? Pertanyaan yang selama puluhan tahun tak pernah terbayangkan itu kini mulai muncul ke permukaan gegara terjadinya tragedi Garut ini.
****
Peledakan amunisi kedaluwarsa memang bukan hal baru. Ia merupakan bagian dari tata kelola militer yang sudah berlangsung lama. Namun demikian, setiap tahap dalam proses ini menuntut ketelitian, kehati-hatian, dan pengamanan ekstra ketat.
Terlebih lagi jika proses itu dilakukan di dekat permukiman warga atau malah disertai keterlibatan warga sipil.
Dalam kondisi seperti itu, kelalaian sekecil apa pun tak lagi bisa dianggap remeh. Ketika terjadi kesalahan prosedur di dalamnya, yang muncul bukan sekadar kekeliruan teknis belaka. Lebih dari itu, yang terjadi adalah bencana kemanusiaan — sebagaimana yang terjadi di Garut, di mana sembilan warga sipil ikut menjadi korban. Berat bagi TNI, karena di satu sisi, mereka telah kehilangan prajuritnya, sementara di sisi lain, institusi ini masih harus menghadapi tudingan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya korban dari kalangan masyarakat.
Atas dasar itulah, sudah semestinya kasus ini diurai secara terang dan menyeluruh. Di mana letak kesalahan prosedurnya, dan bagaimana kelalaian itu bisa terjadi, harus diungkap dengan jujur agar tragedi serupa tak terulang di masa depan. Pelibatan warga sipil dalam kegiatan militer seperti ini pun tampaknya perlu ditinjau ulang — apakah memang layak dan tepat dilakukan, terutama ketika menyangkut aktivitas yang berisiko tinggi terhadap keselamatan jiwa.
Benar bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses peledakan amunisi memberikan dampak ekonomi yang dirasakan langsung, terutama dari penjualan serpihan logam pascaledakan. Namun demikian, dari sisi tata kelola dan prosedur militer, hal ini patut menjadi bahan evaluasi serius. Jangan sampai empati terhadap masyarakat — dalam bentuk kelonggaran keterlibatan mereka — justru membuka celah maladministrasi dan pada akhirnya mencoreng nama baik institusi TNI itu sendiri.
Tragedi ini semestinya menjadi titik balik bagi perbaikan menyeluruh. Bukan sekadar evaluasi teknis semata, tetapi juga evaluasi moral yang lebih dalam: sejauh mana TNI sungguh-sungguh menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama dalam setiap kebijakan dan tindakan. Begitulah kira-kira. [Hamdani MW]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.