Beranda Umum Nasional Mantan Presiden Habibie Pernah Mengakui Adanya Kekerasan terhadap Perempuan, Fadli Zon Bilang...

Mantan Presiden Habibie Pernah Mengakui Adanya Kekerasan terhadap Perempuan, Fadli Zon Bilang Itu Rumor?

Bacharuddin Jusuf Habibie mengambil sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Soeharto di Istana Merdeka, 21 Mei 1998. Pada 20 Mei 1998, mahasiswa makin memadati gedung MPR/DPR untuk mendesak Soeharto mundur. Baru pada Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi kepresidenan di Istana Merdeka pukul 09.05 WIB. Dok Setneg | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) pernah mengeluarkan pernyataan terbuka atas kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan pada kerusuhan 1998.
Dalam pernyataan itu, Habibie mengungkapkan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan terhadap perempuan “dalam bentuk apapun juga dan di mana pun juga.”
Namun dengan enteng, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus perkosaan massal 1998, hanyalah rumor belaka. Tak pelak, pernyaan Fadli Zon itu pun sontak menuai kritik dan kecaman dari berbagai pihak.

Adapun pernyataan Habibie tersebut disampaikan saat ia menerima perwakilan tokoh dan aktivis perempuan di Bina Graha, kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, pada 15 Juli 1998. Menurut mantan juru bicara presiden Habibie, Dewi Fortuna Anwar, salah satu tokoh perempuan yang hadir saat itu adalah Prof. Saparinah Sadli, pelopor studi perempuan di Universitas Indonesia.
“Mereka menyampaikan petisi agar pemerintah mengakui kekerasan yang telah terjadi terhadap perempuan dan meminta pemerintah untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka,” ujar Dewi saat dikonfirmasi Tempo, Senin (16/6/2025). Dewi menegaskan bahwa kekerasan yang dimaksud termasuk pemerkosaan massal.

Sementara itu, kontras dengan sikap negara pada 1998, dua dekade lebih kemudian justru muncul penyangkalan dari pejabat negara. Dalam wawancara dengan Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, yang ditayangkan di kanal YouTube pada Rabu, 11 Juni 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai “cerita” tanpa bukti.
“Pemerkosaan massal kata siapa itu? Nggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada nggak di dalam buku sejarah itu?” ujar Fadli dalam wawancara tersebut, yang kini menuai reaksi keras dari banyak pihak.

Baca Juga :  KPK: Pengadaan Barang dan Jasa di Sumut Kategori Merah, Bobby Nasution Dinilai Belum Maksimal

Pernyataan Fadli dinilai tidak hanya menyakitkan bagi para penyintas, tapi juga mengingkari dokumen resmi negara. Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998—yang disusun tak lama setelah peristiwa itu—telah disebutkan adanya kekerasan seksual terhadap perempuan. Bahkan pernyataan Presiden Habibie yang membenarkan laporan tersebut diabadikan dalam prasasti di depan kantor Komnas Perempuan, dibentuk melalui Keppres No. 181 Tahun 1998.

Dalam kutipan pernyataan tertulisnya, Habibie mengatakan bahwa dirinya telah menerima laporan beserta bukti otentik dari para tokoh perempuan terkait kekerasan terhadap perempuan pada kerusuhan Mei 1998. Ia mengutuk tindakan tersebut dan berkomitmen agar negara memberi perlindungan agar kejadian itu tidak terulang lagi.

Baca Juga :  Libatkan Mantan Koruptor dalam Rapat Dengar Pendapat,  Pakar Sebut DPR Tak Punya Etika

Kini, ketika pernyataan resmi negara dan sejarah telah mencatat tragedi tersebut, munculnya sikap yang merelatifkan bahkan menolak fakta itu dianggap sebagai kemunduran dalam perjuangan keadilan. Komnas Perempuan, berbagai LSM, serta tokoh-tokoh masyarakat sipil mendesak klarifikasi dan tanggung jawab moral dari Fadli Zon atas ucapannya. Bagi mereka, luka para korban bukanlah cerita, melainkan sejarah kelam yang belum sepenuhnya pulih.

www.tempo.co

 

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.