SRAGEN- Penahanan paksa Kepala Desa (Kades) Doyong, Kecamatan Miri, Sragen, Sri Widiastuti (40) oleh Kejaksaan Negeri Sragen, Jumat (20/7/2018) mengejutkan banyak pihak. Selain baru kali pertama, nominal kerugian negara yang sementara ditaksir hanya Rp 70 juta, dinilai terlalu prematur untuk langsung dilakukan penahanan.
Namun Kejaksaan ternyata punya pertimbangan lain. Kajari Sragen, Muh. Sumartono menegaskan penahanan terpaksa dilakukan lantaran ada beberapa faktor subyektif yang mendasari.
“Tersangka memang kurang kooperatif. Sudah tiga kali dipanggil selalu beralasan. Kemudian soal data juga tidak kooperatif. Angka Rp 70 juta itu baru permulaan dan temuan awal, masih ada yang lainnya, ” paparnya Senin (23/7/2018).
Kajari menegaskan saat ini penyidik masih mengintensifkan pendalaman terhadap kasus dugaan korupsi Desa Doyong. Ia menengarai tak hanya satu kasus drainase, masih ada kasus lain yang bakal dikorek.
Ia juga menegaskan Kejari sudah prosedural dan menjalankan semua sesuai SOP.
Sementara Kasie Pidsus, Adi Nugraha menyampaikan Sri ditahan terkait dugaan korupsi dana desa (DD) pembangunan talud dan drainase yang merugikan negara sekitar Rp 70 juta.
Kades yang terpilih kembali pada Pilkades 6 Desember 2017 silam itu, ditahan dengan status tahanan titipan Kejari.
Adi menambahkan, yang bersangkutan bakal ditahan untuk 20 hari ke depan. Dalam kasus ini, tersangka akan dijerat Pasal 2,3 dan 9 Undang-Undang (UU) 31/1999 jo UU nomer 20/2001 tentang tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman seumur hidup.
Terkait kemungkinan adanya tersangka lain dalam kasus ini, Kajari mengaku bisa belum bisa memastikan, dan bergantung perkembangan penyidikannya nanti bagaimana. Sejauh ini sudah ada 10 saksi yang telah dimintai keterangan dan akan dipanggil lagi guna kepentingan pemberkasan tersangka.
“Nanti 10 saksi ini akan kami panggil lagi untuk pemberkasan. Dimungkinkan jumlah saksi yang dipanggil akan bertambah, sesuai kebutuhan penyidik,” tuturnya.
Dalam kasus ini, tersangka melakukan penyalahgunaan wewenang berupa pembuatan laporan pemakaian dana yang melebihi kebutuhan alias mark up.
Selain itu, tersangka juga memanipulasi laporan biaya tenaga kerja dalam proyek, dimana tenaga kerja yang mestinya gratis karena gotong royong warga, ternyata dilaporkan masuk biaya. Sementara sisa dana pelaksanaan proyek kemudian dibagi-bagi. Wardoyo