Beranda KOLOM Menghidupkan Kejujuran

Menghidupkan Kejujuran

 

Oleh : Dr. Bramastia, M.Pd*

Kejujuran Tidak Bisa Diajarkan,

Tapi Harus Dihidupkan.

– Artidjo Alkostar-

Barang langka yang susah diperoleh di negeri ini, konon namanya kejujuran. Karena jujur merupakan karakter yang terbentuk dari sikap amanah. Sebaliknya, orang yang amanah akan bersikap jujur dan biasanya bisa diandalkan dalam menjalankan komitmen, tugas, dan kewajiban. Kejujuran tidak mudah, karena jujur merupakan keputusan seseorang untuk mengungkapkan dalam bentuk perasaan, perkataan, dan perbuatan sesuai dengan realitas yang ada dan tidak memanipulasi dengan berbohong atau menipu untuk keuntungan dirinya.

Menurut Kesuma (2011: 17) bahwa mencirikan orang-orang yang memiliki karakter jujur, yaitu; 1) jika bertekad untuk melakukan sesuatu, tekadnya adalah kebenaran dan kemaslahatan; 2) jika berkata tidak berbohong, 3) jika adanya kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan apa yang dilakukannya. Kejujuran ibarat emas yang dimanapun dia berada, dia akan tetap berkilau menampakkan wajah aslinya. Wajah yang kemilau. Wajah yang menyejukkan dan menetramkan hati bagi siapapun yang dekat dengannya.

Penulis teringat akan dikotomi antara pendidikan dan politik. Dalam pendidikan, konon boleh salah tetapi tidak boleh bohong alias jujur. Sebaliknya, dalam politik tidak boleh salah tetapi boleh bohong atau tidak jujur. Kutub jujur dan tidak jujur kini sudah terkotak-kotak dalam status pekerjaan. Seakan ada pesan bahwa jangan berharap bisa kaya raya tatkala masuk dunia pendidikan atau sebaliknya masuklah politik saja bila ingin cepat kaya raya.

Padahal, satu kebohongan biasanya akan ditutupi dengan kebohongan lagi. Bohong tidak mungkin mesra dengan kejujuran. Bohong akan terus berlanjut dan kejujuran juga memiliki kelanjutannya. Kebohongan dan kejujuran merupakan dua kutub yang berbeda, yang kelak memiliki nasab dan nasib yang berbeda pula. Dosa kebohongan dan pahala kejujuran konon seiring sejalan dan selalu dihadapkan kepada penerus masa depan bangsa Indonesia untuk menentukan pilihannya.

Pendidikan yang mengajarkan kejujuran, seakan bukan lagi menjadi agenda utama dalam kebijakan pendidikan. Pemegang kebijakan pendidikan saat ini sedang asyik mengikuti arus pikir globalisasi, seakan bangsa Indonesia menjadi bangsa primitif bila tidak mengikuti tren globalisasi. Hampir semua sendi-sendi pendidikan diukur dari pijakan parameter global yang sesungguhnya penuh dengan agenda liberalisasi pendidikan.

Baca Juga :  Baznas Komitmen Manfaatkan Zakat untuk Kesejahteraan Jemaah Masjid

Entah ketidakpercayaan diri atau keberhasilan manipulasi globalisasi yang justru membuat pemegang kebijakan pendidikan dalam negeri menjadi lupa diri bahwa nilai kejujuran kini tidak lagi memiliki arti. Hampir tidak terbesit sebuah kebijakan pendidikan tentang bagaimana sebuah kejujuran menjadi agenda utama dalam membangun peradaban bangsa. Kejujuran menjadi pijakan dalam membangun satu tapak demi tapak bagi anak-anak bangsa untuk meletakkan fondasi nilai peradaban di bumi ibu pertiwi.

Sebaliknya, fondasi pendidikan yang dibangun hanya berkelindan tentang persoalan adaptasi globalisasi yang linier dengan perkembangan teknologi. Pendidikan bagi anak negeri seakan lupa diri dengan jati diri bangsa Indonesia yang memiliki sejarah dan peradaban mulia nan penuh etika dan tata krama. Tanpa terasa, pelan dan pasti arus globalisasi leluasa mengikis identitas asli atas peradaban bangsa Indonesia yang selama ini tidak kalah mulianya. Dalih globalisasi yang menjadi agenda resmi liberalisasi kini berhasil memanipulasi kesadaran seantero negeri yang kelak berada pada masa depan robotisasi anak bangsa.

 

Kejujuran Pendidikan

Mencermati pergulatan dunia pendidikan saat ini, globalisasi menjadi ruang terbuka menciptakan peradaban baru. Membangun peradaban adalah sesuatu yang mustahil, tetapi perubahan peradaban merupakan sebuah keniscayaan. Kejujuran pendidikan menjadi pintu pembuka guna membangun peradaban baru sebuah negeri yang lebih elegan. Negeri yang jauh dari manipulasi kesadaran dan jauh dari pencitraan. Negeri yang mampu menentramkan hati, pikiran dan perkataan yang lurus berjalan dengan nilai serta tingkah laku keseharian.

Keberhasilan kejujuran pendidikan akan melahirkan sosok humanis, yang baik saat bertatapan dan tetap baik saat berada di belakang. Kejujuran pendidikan tentu saja menjauhkan diri dari sikap basa basi yang bersanding dengan senyum manipulasi tapi hati yang sesungguhnya penuh dengan duri. Akibatnya, noktah hitam mata hati dan pikiran menjadi terbutakan bersanding mulut berbusa penuh kebohongan demi untuk membangun citra senantiasa agar didewakan.

Baca Juga :  Dukungan Makin Deras Mengalir, Kali Ini Tokoh Katolik se-Serengan Deklarasi Dukung Respati-Astrid

Kerinduan terhadap pendidikan yang menghidupkan kejujuran menjadi impian bagi siapapun yang berhati, pemikiran dan perkataan yang menjernihkan. Barangkali, bangsa Indonesia saat ini merasakan kehausan akan kejujuran. Rasa dahaga yang teramat sangat terhadap tetesan kejujuran yang menjadi penyejuk agenda merubah peradaban negeri. Karena kejujuran pendidikan akan menjadi tonggak utama dalam merubah peradaban bangsa.

Kejujuran adalah sebuah pilihan. Memilih kejujuran tentu saja memiliki konsekuensi logis. Pendidikan yang menempatkan kejujuran sebagai pilihan, tentunya membawa efek yang menenteramkan hati dan pikiran. Sebaliknya, materialisasi pendidikan yang jauh dari kejujuran akan menyeret pada pilihan manipulasi kesadaran. Lambat laun, pendidikan tidak bisa lagi dirasakan dan tidak bisa lagi memanusiakan karena jauh dari sifat kemanusiaan.

Dengan demikian, pemegang kebijakan pendidikan harus membuka mata hatinya bahwa kejujuran pendidikan harus menjadi landasan atau fondasi guna membangun dunia pendidikan di tanah air. Pendidikan bukanlah sekedar sebuah tindakan yang termaterialkan, tetapi juga tindakan yang bisa menggetarkan hati dan sanubari anak negeri. Selanjutnya, pendidikan menjadi pintu utama menghidupkan kejujuran agar bersemayam di lubuk hati dan sanubari anak negeri. Saatnya Kejujuran Memimpin, beranikah kita?

 

—*Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen UNS Surakarta—–