WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Siapa tak kenal lobster, jenis udang-udangan berukuran cukup besar ini terkenal akan rasanya yang gurih. Di samping itu lobster masyur pula dengan harganya yang tinggi, sampai sampai dikategorikan makanan sultan.
Nah,di kabupaten ujung tenggara Jateng, Wonogiri ada satu satunya kecamatan penghasil lobster laut unggulan. Yakni di Kecamatan Paranggupito Wonogiri, daerah ini memang bersinggungan langsung dengan Laut Selatan atau Samudra Indonesia.
Banyak nelayan di Kecamatan Paranggupito Wonogiri mencari lobster Paranggupito di samping hasil laut lainnya. Sebagian besar lobster Paranggupito dijual lantaran harganya yang tinggi. Namun ada pula yang dimasak terlebih dahulu lantaran sudah dipesan.
Aneka sajian berbahan lobster Paranggupito dijamin menggugah selera. Salah satunya dimasak asam pedas. Rasanya pedas asam, ada manis dan gurihnya.
“Makan satu ekor lobster Paranggupito sudah kenyang, nikmat banget,” ujar Ikhsan warga Solo, baru baru ini.
Dia mengaku mengikuti acara gowes di kawasan Wonogiri selatan. Saat beristirahat di rumah tokoh masyarakat, dia dan rombongan disuguhi lobster Paranggupito dimasak asam pedas.
Soal harga lobster Paranggupito tergantung jenis dan ukuran. Namun demikian dipastikan mencapai ratusan ribu rupiah.
Tingginya harga lobster Paranggupito sebanding dengan perjuangan nelayan untuk mendapatkannya. Mereka harus mencari umpan hingga memasang perangkap melalui tebing terjal pantai.
Seorang nelayan tradisional dari Desa Paranggupito Kecamatan Paranggupito Wonogiri Yato mengatakan, harga lobster bervariasi sesuai jenis dan ukurannya. Untuk lobster hijau ukuran 150 gram ke atas, harganya Rp 500.000 per kilogram.
“Lobster jenis batu ukuran 200-450 gram dihargai Rp 280.000 per kilogram. Sedangkan lobster batu ukuran 500 gram ke atas dihargai Rp 330.000 per kilogram,” beber dia.
Lobster tersebut dihargai tinggi karena menurut dia cukup sulit untuk mendapatkannya. Para nelayan harus terlebih dahulu mencari umpan berupa usal atau sejenis kerang-kerangan di antara karang tepi pantai.
Selanjutnya usal dan kerang-kerangan itu dipasang di alat bernama krendet yang merupakan rangkaian jaring perangkap lobster.
Untuk menangkap lobster nelayan berjuang menaiki tebing-tebing pantai. Mereka melemparkan krendet ke laut lalu membiarkannya semalaman. Krendet baru diangkat keesokan paginya.
Krendet dipasang jam lima sore, diambil lagi jam lima pagi.
Saat mengambil krendet, seorang nelayan bisa mendapatkan empat atau lima ekor lobster. Namun, tidak jarang mereka pulang dengan tangan hampa.
Suparyo, nelayan lainnya menambahkan, para bakul atau tengkulak datang sendiri ke kampungnya untuk membeli lobster Paranggupito. Lobster lobster Paranggupito itu kemudian dikirim ke berbagai kota, seperti Yogyakarta dan Jakarta. Ketika dibawa, lobster Paranggupito harus ditaruh pada media yang kering dan dicampur serbuk kayu, agar lobster tetap bertahan hidup. Aris Arianto