Beranda Panggung Sastra Tolong, Sembelih Saya!

Tolong, Sembelih Saya!

Cerpen Sulistiyo Suparno

Mungkin kau pernah mendengar cerita tentang seorang lelaki muda yang mengasah pisau, lalu menyodorkan pisau dan berkata, “Tolong, sembelih saya!” Jangan percaya! Itu hanya cerita murahan di koran kuning.

Selama belasan tahun mengenal Patmo, kepala Arman masih menempel di leher. Meski Arman tahu Patmo tukang asah pisau andal, yang bisa setiap saat—mungkin saat kerasukan jin—menggorok lehernya. Kampung Kamulyan bukan koran kuning, dan sejauh ini tak ada cerita murahan tentang lelaki muda menyembelih leher sahabatnya.

Arman dan Patmo berkawan sejak kecil. Mereka bersama beberapa teman lain senang pergi ke sungai, kebun, sawah, ladang, usai pulang sekolah. Mereka masing-masing membawa sebilah pisau lipat murahan yang mereka beli di warung tetangga. Dengan pisau lipat, mereka membuat kuda-kudaan atau senapan dari pelepah pisang.

Kalau pisau lipat sudah tumpul, Arman dan kawan lain membuangnya lalu membeli yang baru, tetapi Patmo tidak. Patmo mengasah ulang pisau lipat itu di bebatuan sungai. Arman dan kawan-kawan lain tertawa.

“Dasar pelit,” ujar Karmijan.

“Jangan menghina,” sergah Halimah yang masih saudara jauh dengan Patmo.

“Kalian jahat menghina teman sendiri,” sahut Lastri. Dua gadis kecil itu selalu jadi pembela Patmo.

“Saya tidak jahat, kok. Karmijan yang menghina, bukan saya,” Arman menimpali.

“Maaf, maksud saya Karmijan yang jahat,” Lastri meralat.

“Sudah, sudah, jangan dibahas,” Sasongko ikut bicara. “Ayo, kita cari mangga muda.”

“Mencuri maksudmu?” tanya Patmo. “Tidak. Saya tidak mau. Lebih baik saya pulang saja.”

“Saya juga mau pulang saja,” sahut Halimah.

“Saya juga. Saya ndak mau mencuri mangga, nanti masuk neraka,” timpal Lastri. Patmo, Halimah, Lastri pulang. Arman, Karmijan, dan Sasongko saling pandang dan mengangkat bahu.

“Ayo?” tanya Sasongko.

“Ayo!” sahut Karmijan.

“Let’s go!” seru Arman.

Tiga kawan itu berlari menuju kebun Haji Sanip. Di sana banyak pohon mangga yang berbuah lebat.

***

Saat bermain, Patmo selalu membawa sarung yang ia selempangkan di kedua bahunya. Kalau mendengar Azan Asar, Patmo segera menggelar sarungnya di bebatuan sungai, lantai gubuk di sawah, atau di rumput ladang, lalu Salat. Halimah dan Lastri pulang, karena tidak membawa mukena. Arman, Karmijan, dan Sasongko duduk bersila dan tersenyum, kadang tertawa, menonton Patmo Salat Asar.

“Kalian tidak Salat?” tanya Patmo usai Salat Asar.

“Nanti di rumah,” sahut Arman.

Suatu hari saat Arman sedang menunggu kedatangan kawan lain di kebun, ia melihat Patmo memotong pelepah pisang. Arman mengira Patmo akan membuat kuda-kudaan atau senapan, tetapi rupanya bukan. Patmo memotong pelepah itu sekira satu meter, membersihkan daunnya, lalu ia mengikatkan sarung ke ujung pelepah. Dengan memikul pelepah pisang bersarung, Patmo berjalan membentuk putaran.

“Kamu sedang apa?” tanya Arman.

“Saya sedang berjalan keliling dunia.”

“Keliling dunia? Jalan kaki? Hahaha!”

“Suatu saat saya akan keliling dunia, bagaimanapun caranya, jalan kaki sekalipun,” kata Patmo dengan tatapan tegas.

Arman menghentikan tawa. Bibirnya terkatup.

***

Tubuh Patmo ceking sejak kecil, karena gemar berpuasa dan pantang memakan gorengan. Saat remaja, tubuhnya pun masih ceking. Bila ada rapat pemuda, Patmo tidak memakan bakwan, pisang atau tahu goreng yang disuguhkan. Tetapi, kalau suguhannya berupa pisang kukus, Patmo bisa menghabiskan hingga sepuluh biji. Dan, kegemarannya mengasah pisau lipat berlanjut hingga dewasa.

Usai SMA, Patmo membuka usaha jasa mengasah pisau di pasar. Banyak bapak-bapak datang padanya untuk mengasah pisau, parang, sabit, dan senjata tajam lainnya. Banyak ibu-ibu datang membawa ayam, bebek, kelinci untuk disembelihkan oleh Patmo.

Arman pernah mengantar ibunya membawa dua ekor ayam, saat Arman baru diterima di Fakultas Pertanian sebuah universitas negeri ternama. Ibu akan mengadakan syukuran untuk Arman dengan membuat opor ayam.

Arman melihat Patmo lihai menyembelih ayam dan membersihkan bulu-bulunya. Ah, rasanya baru kemarin Arman melihat Patmo mengasah pisau lipat tumpul di bebatuan sungai, sekarang kawannya itu menjadi pengasah pisau dan tukang jagal profesional.

Selama lima tahun, Arman tinggal di kota, kuliah, dan jarang pulang. Di kota banyak gadis cantik, Arman betah di sana. Meski kuliah pertanian, tetapi Arman malas mencangkul. Ia berharap kelak bekerja di kantor—memegang pulpen dan berdasi.

Waktu lulus kuliah, Arman melamar menjadi penyuluh pertanian. Dengan sejumlah uang sogokan, Arman ditugaskan di kampungnya sendiri. Tugas Arman menyenangkan; menyuruh para petani melakukan ini-itu.

Suatu sore, saat Arman sedang bersantai di gubuk di tengah sawah ayahnya, ia melihat seorang gadis melintas. Gadis semampai, berambut kepang dua, dan berlesung pipi.

“Halimah? Mau ke mana kamu sore begini?” sapa Arman memandang takjub pada pesona gadis itu.

“Mau ke sawah, Ar,” sahut Halimah, gugup.

“Untuk apa?”

“Mau memetik kacang panjang, Ar.”

“Duduklah. Sudah lama kita tidak berbincang,” pinta Arman. Arman dapat leluasa memandang kecantikan Halimah saat duduk berdekatan di gubuk. Dada Arman mulai berdebaran.

“Apa kabarmu?” tanya Arman.

“Kabar baik, Ar. Kamu bagaimana?”

“Kabar baik juga,” Arman terus memandang Halimah tiada berkedip.

“Jangan pandang saya begitu, Ar,” kata Halimah tersipu dan tertunduk.

“Kamu cantik sekali,” kata Arman.

“Gadis kota lebih cantik, Ar.”

“Saya lebih suka gadis kampung, apalagi gadis secantik kamu.”

“Kamu ngomong apa, sih?” Halimah menunduk makin dalam.

Arman melirik ke luar gubuk. Di sana ada belukar. Arman menyeret Halimah ke belukar, mencumbunya.

“Jangan, Arman. Jangan. Jangan. Ah! Oh….”

***

Sekira pukul lima sore, di hari lain, Arman ke rumah Patmo. Arman menemukan kawannya itu di belakang rumah, sedang mengasah pisau di bawah pohon mangga. Patmo memandang sekilas kedatangan Arman, tak bicara, dan terus mengasah pisau.

“Saya mau bicara,” kata Arman lirih, berjongkok di dekat Patmo.

“Saya sudah tahu. Kamu mencumbunya di belukar. Mau bicara apa lagi?”

“Kami akan menikah.”

Patmo berhenti mengasah pisau, menatap lurus Arman.

“Meski kamu tahu orangtua kami telah menjodohkan saya dengan Halimah?” kata Patmo.

Arman mengela napas.

“Semua sudah terjadi. Di belukar itu. Maafkan saya,” kata Arman.

“Lebih baik saya mati atau pergi dari sini, daripada melihat kalian menikah,” kata Patmo tegas, lalu mengasah pisau lagi.

“Sekali lagi, maafkan saya,” Arman menyentuh bahu Patmo.

Patmo menyelesaikan mengasah pisau, mengamati sejenak pisau itu, lalu dengan tatapan tajam, ia menyodorkan pisau pada Arman dan berkata tegas, “Tolong, sembelih saya!”

***

Patmo pergi dari kampung. Ia tidak datang pada akad nikah Arman dan Halimah. Kata Karmijan, Patmo membawa tongkat dan buntalan sarung bagai pendekar, hendak berjalan kaki keliling dunia.

“Sejak kecil Patmo ingin keliling dunia, bagaimanapun caranya,” komentar Arman.

“Patmo sudah gila. Kau penyebabnya,” sahut Karmijan menatap tajam Arman, tetapi beberapa saat kemudian menyeringai. “Sejak kecil Patmo memang sudah gila. Dia mau jalan kaki keliling dunia? Hahaha!”

Baiklah. Mungkin suatu saat kau akan mendengar cerita tentang seorang lelaki muda yang mengasah pisau, lalu menyodorkan pisau dan berkata, “Tolong, sembelih saya!”  Kali ini kau harus percaya, karena Arman yang bercerita.

 

Sulistiyo Suparno, lahir di Batang 9 Mei 1974. Gemar menulis cerpen sejak SMA. Cerpen-cerpennya tersiar di berbagai media, baik media cetak atau onlineBermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah. Dapat dihubungi di Facebook: Sulistiyo Suparno atau Surel: sulisjateng@gmail.com

Redaksional

Redaksi menerima cerpen. Tema bebas dan yang pasti tidak SARA. Font Times New Roman 12pt, A4, Spasi 1,5. Panjang naskah 6000 sampai 9.000 cws. Naskah cerpen orisinil dan belum pernah tayang dimanapun, termasuk di buku.

Kirim naskah Cerpen Anda dengan  menyertakan data diri dan nomor rekening di bawah naskah cerpen ke senthongcerita@gmail.com

Honorarium sebesar Rp. 50.000,- bagi karya yang ditayangkan.

Terima kasih.