JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Nasional

Waspada, Penyerangan Gereja St Lidwina Bagian dari Adu Domba. Jangan Terpancing!

   
Imdadun Rahmat/Tribunnews

JAKARTA – Belakangan ini kita sedang dihadapkan  pada situasi yamg rentan terjadi perpecahan antarumat beragama.

Dan buktinya, kasus penyerangan di gereja St Lidwina, Bedog, Sleman, Provinsi DIY pada Minggu (11/2/2018) kemarin bukanlah kejadian tunggal yang terpisah, namun merupakan rangkaian dengan kejadian yang lain.

Diawali dengan kasus penyerangan seorang Ulama NU Kiai Umar Bisri di Cicalengka. Disusul pemukulan Komandan Brigade PERSIS Prawoto hingga tewas oleh sosok tak dikenal.

Tersangka diduga orang yang kelainan jiwa.
Selang beberapa waktu, ada aksi persekusi terhadap Biksu Mulyanto. Persekusi dilakukan karena provokasi segelintir orang, bahwa rumah itu dijadikan tempat ibadah.
Tak lama, terjadi penyerangan di Gereja Katolik Lidwina, di Sleman.

Aksi itu sempat melukai para jemaat misa dan Romo Karl Edmund mengalami beberapa luka sabetan senjata tajam. Beberapa berita tentang penyerangan imam masjid di Aceh dan perusakan masjid di Tuban viral di media sosial.

Dalam siaran persnya, Selasa (13/2/2018), Direktur Said Aqil Siroj Institute, M. Imdadun Rahmat menangkap adanya tanda bahaya.
Sejalan dengan apa yang sudah dirilis SETARA Institute dan Wahid Foundation sebelumnya, M. Imdadun Rahmat menilai bahwa rangkaian peristiwa kekerasan ini bisa memicu konflik antar agama yang lebih luas.

Baca Juga :  Antisipasi Situasi Geopolitik dan Dampak Ekonomi Usai Serangan Iran ke Israel, Ini Strategi yang Diambil Menkeu Sri Mulyani

“Sebab terlihat pola yang mengarah pada provokasi kecurigaan kepada kelompok agama lain. Arahnya adu domba,” ujar Imdadun Rahmat.

Secara khusus, Imdadun menilai bahwa Yogyakarta sudah lampu kuning untuk kehidupan toleransi.

“Secara keseluruhan gerakan Intoleransi di negeri ini kian mewabah dan merusak harmoni kehidupan beragama akhir-akhir ini,” ujar Imdadun.

SAS Institute menilai hal ini juga dimanipulasi secara politis untuk melakukan delegitimasi terhadap pemerintah.

“Permasalahan berikutnya, selalu ada kelompok dan kubu politik oposan yang memaknai peristiwa itu sebagai kegagalan pemerintah dan mengambil keuntungan secara politis atas aksi-aksi tersebut,” kata Imdadun.

Menurut dia, kejadian-kejadian ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua sebagai bangsa.

“Bukan malah dipolitisir untuk mendelegitimasi pemerintah yang berakibat semakin runcing persoalan,” kata Imdadun.

Baca Juga :  Demi Ungkap Pelanggaran Pilpres 2024, Masyarakat Sipil Desak Pengadilan Rakyat

Imdadun Rahmat juga memberikan catatan kritis kepada pemerintah, atas kinerja Badan Intelijen Negara yang belum bekerja dengan maksimal.

Banyak sekali kejadian provokasi umat beragama yang tidak mampu terdeteksi oleh Badan Intelijen Negara. Sehingga secara liar dan masiv opini yang tidak benar merebak di masyarakat.

“Jika melihat polanya, seakan rangkaian pristiwa ini adalah sebuah rekayasa mendisharmoni kehidupan sosial umat beragama. Rentang waktu kejadian tergolong pendek, dan motif aksi tidak jelas. Hanya semacam gerakan lone wolf yang sporadis,” tukas Imdadun.

Dirinya kembali mengimbau masyarakat luas agar tidak terprovokasi dengan aksi-aksi teror seperti ini. Forum-forum lintas agama juga harus kembali di maksimalkan fungsinya sebagai benteng utama umat beragama.

“Kepala BIN, harus mengevaluasi kebijakan dan kinerja para jajaran untuk membaca gerakan pengacau di masyarakat. Sistem intelijen membutuhkan kepemimpinan yang solid dan partisipatoris rakyat,” tutup Imdadun Rahmat. Tribunnews

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com