SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dalam kultur kehidupan masyarakat Jawa, tak bisa dimungkiri kadang masih kental dengan nuansa kejawen.
Tak hanya tradisi adat, sebagian masyarakat ternyata juga masih memegang teguh kepercayaan atau mitos yang kadang agak sulit dilogika di era milenial sekarang ini.
Salah satunya di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar. Di desa paling utara Sragen yang berbatasan dengan Ngawi, Jatim ini, hidup sebuah mitos mengerikan tentang sebuah kampung sakral bernama Singomodo.
Kampung yang berada di sekitar makam Syekh Nasher atau oleh warga dikenal sebagai Eyang Singomodo itu, selama turun temurun, dikenal dengan sebutan kampung anti sinden.
Tak main-main, warga yang nekat melanggar aturan itu, konon akan langsung menerima petaka hingga ajal taruhannya.
Untuk menguak mitos mengerikan itu, JOGLOSEMARNEWS.COM mencoba menelusuri jejak sejarah dari para sesepuh maupun warga penghuni kampung Singomodo.
Ternyata mitos itu bukan isapan jempol belaka. Menurut juru kunci makam Eyang Singomodo atau Syekh Nasher, Mbah Slamet (65), mitos kampung anti sinden di Singomodo memang sudah dipercaya turun temurun.
Hingga kini warga di kampung itu masih meyakini dan tak ada yang berani melanggar aturan tak tertulis yang berlaku sejak zaman leluhur tersebut.
Bagaimana ceritanya hingga muncul Kampung Singomodo yang anti suara sinden itu?
Mbah Slamet memulai cerita dengan mengupas sosok Syekh Nasher yang dikenal dengan sebutan Eyang Singomodo. Menurut cerita turun temurun, Eyang Singomodo dikenal sebagai salah satu tokoh agama Islam dari keturunan Keraton Surakarta Hadiningrat pada masa kepemimpinan PB Kedua.
Saat terjadi perang Mataram, Syekh Nasher bersama dengan lima orang prajurit pengikutnya melakukan perjalanan menyusuri bengawan dengan gethek (rakit) dan terdampar di wilayah sekitar daerah Pungkruk, dekat Kandangsapi.
Di situlah kemudian Syekh Nasher memutuskan menetap dan melakukan syiar agama Islam di wilayah Kandangsapi dan sekitarnya.
“Sebagai ulama, saat itu Syekh Nasher punya banyak santri. Ada sekitar 100an santri dan karena prihatinnya tinggi, dia juga dikenal punya ilmu rogosukmo. Lalu dia membuat batas wilayah. Wilayah itu dinamakan Singomodo yang kemudian disebut jadi Kampung Singomodo,” papar Slamet, Jumat (8/11/2019).
Dari cerita leluhurnya, Slamet menuturkan saat menetapkan tapal batas kampung itu, Eyang Singomodo atau Syekh Nasher itu berujar ke pengikutnya agar tidak melanggar batas yang sudah ditetapkan.
Jika dilanggar, maka harus siap menanggung segala risikonya. Untuk menandai batas wilayah Kampung Singomodo, Syekh Nasher membuat pematang (galengan) di sekeliling kampung yang hingga kini juga masih ada.
- Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
- Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
- Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
- Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com