JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengklaim telah berhasil mengembangkan sistem peringatan dini (EWS) yang mampu mendeteksi gempa bumi melalui pengukuran konsentrasi gas radon dan level air tanah. Hasil pengukuran mereka diklaim dapat memprediksi gempa bumi hingga tiga hari sebelum kejadian.
Menanggapi kabar tersebut, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono, menyambut baik dan mengharap informasi yang diperoleh dapat dibagikan kepada masyarakat dan BMKG.
“Bagus jika sudah bisa dan mohon diinfokan kepada kami dan masyarakat, apalagi jika akan ada gempa dengan kekuatan di atas 6,0 kita amati bersama. Tapi bukan gempa di bawah 5,0 karena itu sangat banyak setiap hari,” tulis Daryono melalui akun media sosial Twitter pribadinya, Minggu (27/9/2020).
Ia menambahkan dalam twit selanjutnya, memprediksi gempa dengan hanya mengukur konsentrasi gas radon dan level air tanah ibarat tes Covid-19 hanya dengan mengukur suhu. Seperti diketahui, gejala Covid-19 kini diketahui telah berkembang lebih dari sekadar demam, batuk, atau sesak napas.
Menurut Daryono, begitu pula dengan mengukur dan memperkirakan gempa, ada lebih banyak parameter dan alat ukur yang dibutuhkan. Dia menyebut seperti tilt meter dan strain meter. Lalu menyarankan pula agar pengukuran terintegrasi dengan magnet bumi.
“Prediksi gempa hanya gunakan gas radon dan air tanah saja, seperti memprediksi orang Covid-19 hanya dengan ukur suhu. Sebaiknya terintegrasi dengan magnet bumi, TEC, suhu, air tanah, tilt meter, strain meter pada tempat sama. Yang lengkap alatnya saja belum konsisten hasilnya, kita belum berani publish,” tulis Daryono.
Algoritma Prediksi Sistem Peringatan Dini
Sebelumnya, Ketua tim riset Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM, Prof Sunarno, mengatakan, tim peneliti UGM telah membangun sistem peringatan dini yang menggunakan pengukuran konsentrasi gas radon dan level air tanah, yang disebut merupakan anomali alam sebelum terjadinya gempa.
“Dari EWS gempa algoritma yang kami kembangkan, bisa tahu satu sampai tiga hari sebelum gempa. Jika gempa besar di atas 6 SR, sekitar 2 minggu sebelumnya alat ini sudah mulai memberikan peringatan,” jelas Prof Sunarno, Minggu (27/9/2020).
Sunarno menjelaskan, apabila akan terjadi gempa di lempengan, akan muncul fenomena paparan gas radon alam dari tanah meningkat secara signifikan. Demikian juga permukaan air tanah naik turun secara signifikan.
“Dua informasi ini dideteksi oleh alat EWS dan akan segera mengirim informasi ke handphone saya dan tim. Selama ini informasi sudah bisa didapat dua atau tiga hari sebelum terjadi gempa di antara Aceh hingga NTT,” ungkapnya.
Sistem yang dikembangkan tim peneliti dari UGM itu terdiri dari alat EWS yang tersusun dari sejumlah komponen, seperti detektor perubahan level air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, kontroler, penyimpan data, dan sumber daya listrik. Lalu, memanfaatkan teknologi internet of things (IoT) di dalamnya.
Dia menyampaikan, pada tahun 2018, dirinya bersama dengan tim telah melakukan penelitian untuk mengamati konsentrasi gas radon dan level air tanah sebelum terjadinya gempa bumi. Pengamatan yang telah dilakukan kemudian dikembangkan sehingga dirumuskan dalam suatu algoritma prediksi sistem peringatan dini gempa bumi.
Sistem peringatan dini gempa ini telah digunakan untuk memprediksi gempa. Ada lima stasiun pantau EWS yang tersebar di DIY yang setiap 5 detik mengirim data ke server melalui IoT. “Lima stasiun EWS ini masih di sekitar DIY. Jika seandainya terpasang di antara Aceh hingga NTT kita dapat memperkirakan secara lebih baik, yakni dapat memprediksi lokasi lebih tepat atau fokus,” terangnya.