AUSTRIA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan telah resmi menghapus ganja dari daftar zat narkotika atau obat terlarang paling berbahaya di dunia. Keputusan ini untuk mengantisipasi, sekaligus membuka jalan bagi perluasan penelitian ganja dan penggunaan medis.
Keputusan ini diambil setelah dilakukan pemungutan suara oleh Komisi Obat Narkotika, yang berbasis di Wina dan beranggotakan 53 negara. Komisi ini mempertimbangkan rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang reklasifikasi ganja dan turunannya.
Meski demikian, mengutip dari New York Times, Kamis (3/11/2020), para pakar mengatakan bahwa pemungutan suara tersebut tidak berdampak langsung pada pelonggaran kontrol internasional dalam penggunaan ganja lebih lanjut. Pasalnya, pemerintah masing-masing negara tetap memiliki yurisdiksi tentang bagaimana mengklasifikasikan ganja.
Kendati demikian, tetap banyak negara yang melihat konvensi global sebagai pedoman dan pengakuan PBB adalah kemenangan simbolis bagi para pendukung perubahan kebijakan narkoba yang mengatakan bahwa hukum internasional sudah ketinggalan zaman.
“Ini adalah kemenangan besar dan bersejarah bagi kami, kami tidak bisa berharap lebih,” kata Kenzi Riboulet-Zemouli, seorang peneliti independen untuk kebijakan narkoba.
Kenzi mengatakan, ganja telah digunakan untuk pengobatan dan keputusan PBB menjadi pintu untuk mendukung ganja digunakan dalam medis. Perubahan tersebut kemungkinan besar akan mendukung penelitian medis dan upaya legalisasi di seluruh dunia.
Ganja untuk penggunaan medis sebelumnya telah banyak digunakan dalam beberapa tahun terakhir. Adapun produk yang mengandung turunan ganja seperti cannabidiol atau CBD, senyawa nonintoxicating, telah banyak digunakan di industri kesehatan.
Ganja di Indonesia
Di dalam negeri, Kementerian Pertanian telah mencabut Keputusan Menteri Nomor 104 Tahun 2020 yang mencakup aturan tentang komoditas binaan pertanian. Beleid yang diteken Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 3 Februari 2020 itu memasukkan ganja sebagai salah satu tanaman obat binaan.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian Tommy Nugraha dalam keterangannya pada akhir Agustus lalu menjelaskan, ganja tergolong jenis tanaman obat psikotropika. Pada 2006, komoditas itu masuk kelompok obat sesuai dengan Keputusan menteri Pertanian Nomor 511 Tahun 2006.
Karena itu, sejak 2006, pemerintah telah memusnahkan ganja yang ditanam petani. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2020 tentang Holtikultura, budidaya tanaman yang merugikan kesehatan masyarakat hanya dapat dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau ilmu pengetahuan tertentu dan pengembangannya ditentukan oleh undang-undang.
Keputusan pemerintah itu disesalkan oleh Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Dhira Narayana. “Kami sangat berharap agar Bapak Syahrul Yasin Limpo kembali menetapkan Kepmentan 104 Tahun 2020 yang memposisikan ganja sebagai komoditas tanaman obat,” ujarnya, pada 31 Agustus 2020.
Selama ini, LGN adalah salah satu kelompok yang mendorong legalisasi ganja di Indonesia karena memiliki berbagai manfaat. Salah satunya dalam bidang medis, yaitu untuk kemoterapi bagi penderita kanker.
Lebih jauh Dhira mencontohkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang telah lebih dahulu meneliti dan memanfaatkan ganja untuk tujuan pengobatan. “Banyak sekali warga masyarakatnya yang dapat tertolong,” kata dia.