JOGLOSEMARNEWS.COM Daerah Sukoharjo

Benteng Keraton Kartasura, Kediaman Pangeran Sambernyawa Semasa Kecil

Benteng Kraton Kartasura berada berdampingan dengan rumah-rumah warga / Foto: Suhamdani
   

SUKOHARJO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Jika Anda berkunjung ke Dusun Sitihinggil,   Kelurahan Pucangan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, di sana terdapat benteng memanjang setinggi sekitar 4 meter.

Namun siapa sangka, di balik benteng yang penuh dengan lumut dan semak belukar itu terangkai sebuah cerita sejarah yang menakjubkan?

Peninggalan benteng kraton Kartasura, salah satunya  mengingatkan akan nama besar Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said (RM Said).

Di tempat inilah  RM Said menjalani masa kanak-kanak dan remajanya. Sekarang Benteng Kartasura terletak berdampingan  dengan rumah-rumah penduduk serta menjadi  satu kompleks dengan Masjid dan Makam Hastana.

Papan nama situs cagar budaya Benteng Kartasura terjepit tiang listrik / Foto: Suhamdani

Salah satu ciri yang menonjol dari Benteng Kartasura adalah bangunan pagar tembok  setinggi sekitar empat meter dengan tebal dua meter.

Benteng tersebut  berwujud susunan batu-batu bata yang tidak dilepa. Oleh karena usia atau faktor lain, kini permukaan benteng tersebut sudah terlihat rusak. Hampir seluruh permukaannya ditumbuhi lumut dan rumput-rumput liar.

Situs cagar budaya ini dapat  ditempuh dari berbagai arah dengan mudah, karena terletak di tepi jalan Brigjen Katamso, Kartasura.

Pintu masuk  kawasan Benteng Kartasura ditandai dengan papan nama  di mulut gang kecil di jalan.  Saat kita masuk gang tersebut, di sepanjang sisi kanan jalan terlihat tembok tanpa lepa berdiri memanjang. Kawasan Benteng Kartasura menghadap ke arah Selatan.

Kawasan tersebut telah masuk dalam situs cagar budaya, yang ditunjukkan dengan adanya papan nama Cagar Budaya Benteng Kartasura di sisi timur. Sayang papan nama tersebut terjepit tiang listrik.

Situs Benteng Kartasura berada di antara  rumah-rumah penduduk. Benteng tersebut menjadi satu dengan  kawasan Masjid dan makam Hastana Karaton Kartasura.

Sebagian besar kondisi Benteng Kartasura terkesan asli. Namun sayang, pada beberapa bagian terlihat kerusakan,  dan sebagian besar ditumbuhi lumut. Bagian atas dari benteng tersebut dipenuhi  rumput dan semak belukar tumbuh dengan lebatnya.

Salah satu ciri khas Benteng Kartasura yang menunjukkan dahsyatnya geger Pecinan adalah adanya tembok bolong (berlubang) selebar 2 meter setinggi sekitar 4 meter.

Tembok bolong  tersebut menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan pasukan Pangeran Sambernyawa yang bergabung dengan pasukan Sunan Kuning, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mas Garendi.

Tembok bolong yang menjadi ciri khas Benteng Kartasura, konon terkena pukulan saat terjadi geger Pecinan. untuk alasan keamanan, lubang itu ditambal dari luar, tanpa menghilangkan bekas lubangnya / Foto: Suhamdani

Kondisi tembok yang bolong itu sampai sekarang masih dapat disaksikan. Tembok tersebut jebol berbentuk lingkaran  tak beraturan, dengan ukuran yang cukup besar.

Lubang tembok tersebut masih terlihat jelas, namun dari kejauhan pandangan sedikit terhalang oleh semak belukar setinggi pinggang.

Menurut penjelasan petugas di situs tersebut, Slamet, demi menjaga keamanan, lubang tembok tersebut ditutup dari luar dengan tembok bata.

Namun wujud lubang tembok itu masih kelihatan aslinya jika dilihat dari sisi dalam.  Cerita kebesaran Pangeran Sambernyawa masih dikenal dan dikenang oleh penduduk sekitar, terutama warga yang telah berusia lanjut.

Dalam Kurungan  Emas

Pangeran Sambernyawa  dilahirkan di Kartasura pada hari Minggu Legi, tanggal 8 April 1725 M.  Nama Sambernyawa merupakan  sebutan yang disampirkan oleh pihak Belanda  kepada Raden Mas  Said (RM Said)  karena setiap kali terlibat pertempuran, RM Said selalu  mengakibatkan korban luka maupun tewas di pihak musuh.

Pihak Belanda ketika itu menggambarkan RM Said sebagai sosok yang berani, cerdik, tangguh dan terampil berperang.  Oleh kiprahnya yang ngedap-edapi tersebut,  RM Said digambarkan sebagai sosok yang selalu “menyambar nyawa” musuh-musuhnya.  Bermula dari situlah, RM Said kemudian lebih populer dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.

Lahir dari ayahanda, Kangjeng Pangeran (KP) Arya Mangkoenegara Kartasura, Pangeran Sambernyawa memiliki nama kecil RM Said. Dia lahir dari rahim ibundanya, Raden Ayu Wulan, puteri dari Pangeran Balitar.  Semasa kecil, Pangeran Sambernyawa sudah  terbiasa hidup mandiri, karena ibundanya wafat saat melahirkan dirinya.

Oleh suatu sebab tertentu, KP Arya Mangkoenegara dihukum pembuangan oleh Sinuhun Paku Buwono II ke Srilangka, di Benua Afrika.     KP Arya Mangkoenegara berada di tanah pembuangan sampai dengan wafatnya. Jenazah beliau  kemudian dibawa kembali ke tanah Jawa, dan dimakamkan di pemakaman raja-raja di Imogiri (Bantul).

Selama hidupnya, KP Arya Mangkoenegara memiliki 16 orang putera.  Salah seorang puteranya bernama Raden Mas (RM) Said atau yang sering disebut Pangeran Sambernyawa.  Pangeran Sambernyawa merupakan putra ketiga dari istri KP Arya Mangkoenegoro asal Kablitaran.

Sementara itu, putra pertama dan kedua adalah RM Ngali dan RM Umar, sedangkan dua putra KP Arya Mangkoenegara yang lain yang sering disebut-sebut  adalah  RM Ambiya (dari istri ampeyan yang dewasanya disebut Pangeran Pamot) dan RM Sabar (dari istri ampeyan yang pada saat dewasa disebut Pangeran Aryo Mangkudiningrat).

Sepeninggal ayahandanya,  Pangeran Sambernyawa menjadi sebatang kara, karena ibunya  meninggal pada saat  dia  lahir.  Kehidupan sehari-hari Pangeran Sambernyawa dan kedua adiknya lain ibu, yakni RM Ambiya dan RM Sabar sungguh sangat menderita. Apa yang dilakukan dan apa yang mereka alami, tidak mencerminkan bahwa Pangeran Sambernyawa sebenarnya adalah keturunan bangsawan.

Tiga kakak beradik itu setiap harinya makan dan minum di kandang kuda. Pun, untuk pergaulan sehari-harinya, termasuk makan, lebih banyak bersama-sama dengan anak-anak pegawai rendahan. Kenyataan hidup yang pahit tersebut, secara tidak langsung mendekatkan kejiwaan Pangeran Sambernyawa dan kedua adiknya, dengan rakyat kecil dan  jelata.

Baru  setelah menginjak dewasa dan dikhitankan oleh Sinuhun PB II, Pangeran Sambernyawa diangkat menjadi mantri gandek anom. Dengan jabatan baru tersebut, namanya diganti dengan RM Ng Suryokusumo.

Sepeninggal KP Arya Mangkoenegara, Sinuhun Paku Buwana II  ibarat  tidak  memiliki panutan lagi.  Sejak itu pula, tidak ada lagi sosok yang dituakan dan yang mampu memberikan nasehat ataupun mengontrol setiap  kebijakannya.

Sinuhun, karena usianya yang masih relatif muda, kurang mendengarkan masukan dan saran dari para penasehat dan punggawanya.  Prinsip keadilan yang mestinya menjadi pedoman bagi raja dalam memerintah dan mengayomi rakyatnya, kurang mendapat perhatian yang semestinya.

Sinuhun Paku Buwana  II sering bertindak sewenang-wenang dan menerabas tradisi atau aturan yang sudah berlangsung pada saat itu. Rakyat selalu merasa dicekam ketakutan yang tidak diketahui  alasannya. Prinsip keteguhan yang mestinya dimiliki oleh seorang raja, tidak lagi dimiliki oleh Sinuhun Paku Buwana II kala itu.

Suatu kali  Sinuhun Paku Buwana II melindungi bangsa China, sementara pada waktu yang lain lebih condong ke  pihak Belanda.  Oleh karena  Sinuhun tidak bisa lagi dipegang prinsipnya, Adipati Martapura  menjadi  punya alasan untuk bergabung dengan China. Dia kemudian membujuk Raden Mas Garendi, yakni putra Pangeran Tepasana, dan menjadikannya sebagai raja  dengan julukan Sunan Kuning.

Setelah itu, Adipati Martapura  mendorong Sunan Kuning untuk menggempur Kerajaan Kartasura di bawah Sinuhun Paku Buwana II.  Niat  untuk memukul Kartasura tersebut tidak dilandasi oleh ambisi harta maupun nafsu kekuasaan, melainkan hanya ingin menggertak keangkuhan Sinuhun Paku Buwana II.

Pada saat Sunan Kuning hendak menggempur Kartasura, ada beberapa putera dari KP Arya Mangkoenegara yang masih tinggal di sana, yakni Pangeran Sambernyawa, RM Ambiya dan RM Sabar.

Dalam kondisi genting seperti itu,  Pangeran Sambernyawa menjalin kesepakatan dengan  R Sutawijaya untuk  melarikan diri dari benteng kerajaan.   Sutawijaya adalah putera  dari RTg Wirasuta yang  oleh Sinuhun Paku Buwana II tidak diperkenankan menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal, selain hanya diberi harta.

Padahal bagi Sutawijaya, sebuah jabatan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding harta kekayaan. Keputusan Sinuhun Paku Buwana II yang tidak sesuai dengan  tradisi itulah yang diam-diam membuat Sutawijaya kecewa. Dalam kondisi kerajaan yang kacau tersebut, kekecewaan hatinya seolah mendapatkan celah untuk dilampiaskan bersama dengan putera-putera para Bupati dan Punggawa yang lain, termasuk Pangeran Sambernyawa.

Keluar dari Kraton Kartasura

Ketika pasukan Sunan Kuning benar-benar menggempur dan menjebol Kraton Kartasura pada awal tahun 1741 M, Pangeran Sambernyawa mengajak kedua adiknya, RM Ambiya dan RM Sabar keluar dari Kraton. Namun sebelum mereka keluar dari lingkungan kraton, Pangeran Sambernyawa teringat akan pusakanya Kyai Bedhudak yang disimpan di gedong pusaka.

Ia pun kembali masuk, menyelusup di tengah  keributan, di antara desing pedang maupun tombak,  ke dalam gedong pusaka. Berkat kecerdikan dan keberaniannya, Pangeran Sambernyawa berhasil membawa pusaka tersebut keluar dari Kraton.  Dia kemudian mengajak kedua adiknya melarikan diri dari Kraton.

Pangeran Sambernyawa yang waktu itu masih berusia 19 tahun, keluar dari Kraton Kartasura, dan membangun pertahanan di Randulawang di sebelah utara Surakarta. Para pangeran muda  yang lain pun melarikan diri dari kraton, termasuk Pangeran Puger yang membangun pertahanan di Sukowati, Sragen.

Dahsyatnya serangan dari pasukan Sunan Kuning, sampai-sampai berhasil menjebol  tembok setinggi empat meter dan setebal dua meter. Sinuhun Paku Buwana II, raja Mataram Kartasura kala itu sampai harus melarikan diri ke Ponorogo, Jawa Timur.

Dalam situasi kacau tersebut, Pangeran Mangkubumi yang merupakan adik dari Sinuhun Paku Buwana  II lain ibu, justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta diangkat menjadi raja. Akan tetapi, Belanda menolak permintaan tersebut. Akhirnya Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Pangeran Puger di Sukowati.

Pasukan Sunan Kuning akhirnya berhasil menduduki Kraton Kartasura pada tahun 1742 M, dan Sunan Kuning menggantikan kedudukan Sinuhun Paku Buwana II sebagai raja di sana. Beberapa waktu kemudian, Pangeran Sambernyawa dan adik-adiknya kembali ke Kraton Kartasura dan meminta untuk bisa bergabung dengan Sunan Kuning. Permohonan itu pun diterima dengan senang hati oleh Sunan Kuning.

Akan tetapi, kekuasaan Sunan Kuning atas Kraton Kartasura tidak berlangsung lama. Hanya sekitar sembilan bulan saja Sunan Kuning menduduki tahta, lantaran Sinuhun Paku Buwana II mendapat bantuan dari pihak Belanda  dan pasukan dari  Madura.  Pasukan gabungan tersebut berhasil menggempur Kraton Kartasura.  Sunan Kuning pun terguling dari kekuasaannya dan mundur ke Dusun Randulawang.

Meskipun Sunan Kuning berhasil dilengserkan dengan kekerasan, Sinuhun Paku Buwana  II  tetap memberikan kesempatan pada Pangeran Sambernyawa dan adik-adiknya untuk tetap tinggal di Kartasura. Dia diberi kedudukan sebagai Mantri Gandek Anom.   Suhamdani

Disarikan dari Babad Panambangan, koleksi Reksa Pustaka, Pura Mangkunegaran

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com