JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Opini

Telaah Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama dalam Perspektif Hukum Pidana

Sejumlah penyintas, simpatisan, dan pendamping korban kekerasan seksual dari Gerakan Umat Lintas Iman Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa di Bandung, Rabu (25/9/2019) / tempo.co
   
Alfendo Yefta Argastya, SH / Dok Pribadi

JOGLOSEMARNEWS.COM – Bisa dikatakan, Indonesia saat ini memang sedang darurat kekerasan seksual. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang sudah terjadi.

Salah satu kasus yang sedang hangat diperbincangkan adalah kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama.

Penulis mengambil contoh kasus yang dilansir dari berita online, yakni Tirto.id, kronologi kasus dugaan tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh Mochammad Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Subchi atau Bechi menjadi perhatian publik.

Dalam kasus tersebut, MSAT sudah dilaporkan tiga kali ke Polres Jombang, yaitu pada rentang waktu 2017 hingga 2019.

Perjalanan panjang mengenai kasus kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati yang dilakukan oleh Anak seorang Kiai di Jombang itu sempat menemui jalan terjal.

Pada waktu itu, sejumlah santriwati mengaku mendapatkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh MSAT.

Kemudian barulah pada sekitar tahun 2018 seorang santriwati yang menjadi korban kekerasan seksual berani melaporkan kepada pihak kepolisian atas dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh MSAT.

Namun ternyata polisi tidak bisa melanjutkan kasus tersebut dikarenakan kurang cukup bukti. Lalu sekitar tahun 2019, santriwati yang menjadi korban kekerasan seksual kembali melaporkan MSAT ke polisi atas dugaan kekerasan seksual.

Laporan tersebut diproses oleh kepolisian hingga mengeluarkan surat penetapan tersangka. Kasus itu terus berlanjut hingga sekitar tahun 2020, ketika Polda Jawa Timur mengambil alih penyidikan kasus tersebut.

Tersangka dalam hal ini MSAT sempat dipanggil untuk dimintai keterangan namun tidak pernah memenuhi panggilan penyidik.

Masih pada tahun 2020, lebih tepatnya sekitar bulan Februari, polisi melakukan penjemputan paksa terduga pelaku kekerasan seksual,  yaitu MSAT, namun proses penjemputan tersebut dihalang-halangi dan mendapatkan perlawanan.

Sekitar bulan Desember 2021 MSAT mengajukan praperadilan di dua Pengadilan, yakni Pengadilan Negeri Jombang dan Pengadilan Negeri Surabaya.

Lalu yang menjadi objek praperadilan adalah Polda Jawa Timur dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Kemudian pengadilan menyatakan permohonan praperadilan ditolak.

Permohonan itu ditolak, dengan pertimbangan pihak yang menjadi objek praperadilan kurang, di mana dalam hal ini harus juga melibatkan Polres Jombang.

Kemudian atas celah itulah MSAT melalui kuasa hukumnya mengajukan kembali permohonan praperadilan yang kedua kali melibatkan juga yang menjadi objek praperadilan, yakni Polres Jombang.

Praperadilan dilaksanakan pada Pengadilan Negeri Jombang. Akan tetapi, praperadilan yang  diajukan untuk kedua kalinya itu juga ditolak.

Pada akhirnya, setelah serangkaian panjang, sekitar tanggal 4 Januari 2022 Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menyatakan berkas dinyatakan lengkap atau P-21 sehingga berkas perkara tersebut siap disidangkan.

Namun, sekitar bulan Juli 2022 polisi melakukan penjemputan paksa kembali namun dihadang oleh sejumlah santri.

Dalam intrik  perlawanan itu, Polisi sempat melakukan penangkapan terhadap santri yang berusaha menghalang- halangi proses penjemputan paksa tersebut.

Tidak berhenti sampai di situ, pada tanggal 7 Juli 2022 polisi kembali melakukan proses penjemputan. Dan pada akhirnya DPO, yakni MSAT menyerahkan diri serta langsung dibawa ke Polda Jawa Timur.

 Analisa Kasus

Masih berbicara mengenai kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh MSAT, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum masuk kepada substansi.

Secara harafiah, istilah kekerasan berasal dari kata sifat keras. Istilah ini mengandung pengertian adanya paksaan dalam suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok tertentu, yang mengakibatkan kerusakan terhadap fisik atau suatu barang.

Kekerasan dalam arti lain dapat menimbulkan cacat, sakit, dan penderitaan. Di dalam tindakan kekeraan, trkandung unsur ketidakrelaan atau tanpa persetujuan dari orang lain.

Jika dikaitkan dengan kasus kekerasan seksual sebagaimana kasus di atas, maka kekerasan dapat diartikan sebagai perbuatan yang mengintimidasi seseorang yang berhubungan dengan keintiman atau dalam pengertian lain hubungan seksual yang dilakukan dengan cara memaksa.

Tindakan kekerasan seksual merupakan bentuk pelanggaran kesusilaan yang merusak nilai kesopanan dan tindakannya tidak dikehendaki korban melalui ancaman kekerasan.

Jika berbicara mengenai kesusilaan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menjelaskannya secara experssive verbist mengenai batasan terhadap pengertian kesusilaan.

Hal tersebut berimplikasi pada tataran praktik, di mana akan sangat sulit menentukan perbuatan yang dianggap oleh masyarakat melanggar kesusilaan dalam menerapkan pasal KUHP yang berkaitan dengan kasus a quo.

Baca Juga :  Optimalisasi Penerapan Literasi Digital pada Pendidikan Anak Usia Dini 

Kesusilaan secara etimologis berasal dari kata “su” dan “sila” yang berarti dasar, aturan hidup (sila) yang baik (su). Dari uraian tersebut maka memiliki pengertian aturan sopan santun, moral, agama, dan adat istiadat terlebih memiliki arti yang di dalamnya berazaskan kepantasan.

Dalam tataran masyarakat, frasa mengenai kesusilaan diidentikkan dengan perbuatan yang berbau seks saja. Pun demikian, jika kita mendengar delik susila, maka sudah barang tentu dihubungkan dengan pelanggaran yang ada di bidang seksual.

Sebagai contoh perzinahan, pelacuran, lesbi, homoseksual atau tindakan lain yang sex related, yang sifatnya seperti tindakan cabul, aborsi dan lain-lain.

Apabila diperhatikan, dalam KUHP perumusan kesusilaan diambil dari pengertian sosiologis, dengan demikian KUHP mengadopsi pandangan masyarakat tentang pengertian kesusilaan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan Pompe, yang mengartikan kesusilaan tidak terbatas hanya pada bidang seksual saja.

Tetapi termasuk di dalam kesusilaan, apa yang dinamakan aturan-aturan yang baik dan patut, yang dimiliki dan berdasarkan kesadaran hukum dari masyarakat, sebagai sumber hukum yang menunjukkan adanya suatu dependensi dari sifat bangsa atau karakter nasional.

Pompe mengartikan kesusilaan lebih luas, tidak hanya sebatas pada unsur seksual semata. Berbeda dengan Pompe, Van Bemellen justru membatasi pada delik pidana yang berkorelasi dengan pelanggaran seksual saja.

Penyempitan pengertian kesusilaan sebagaimana disebutkan di atas membawa konsekuensi terhadap hukum pidana, khususnya bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan dan terhadap ketentuan-ketentuan delik susila yang menyangkut kejahatan seksual.

Konsekuensi pertama, dari dianutnya pengertian sempit adalah bahwa KUHP Indonesia menganut politik hukum yang mengadakan pembatasan terhadap delik susila yaitu hanya apabila kehormatan/kesusilaan.

Kesopanan terserang secara terbuka di muka umum atau dengan perkataan lain jika kesusilaan itu diserang di muka umum, maka hukum pidana dapat diterapkan.

Dengan demikian, tidak semua perbuatan asusila dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana, karena berkaitan dengan soal-soal teknis pembuktian atau masalah kebijakan yang berkaitan dengan seberapa jauh negara dapat melakukan intervensi terhadap perbuatan pribadi warga negaranya.

Konsekuensi kedua adalah, sebagian ketentuan yang berhubungan dengan kejahatan seksual yakni Pasal 285, 286, 287, 296 dan 297 KUHP terjadi penyempitan dan objektifikasi perempuan, di mana sosok perempuan tidak dipandang sebagai subjek.

Sosok perempuan bahkan direduksi eksistensinya hanya sebatas bagian tertentu dari tubuhnya dan disamakan kualifikasinya dengan anak laki-laki yang belum dewasa.

Kekerasan terhadap wanita yang paling banyak terjadi adalah perkosaan, yang konstruksi hukumnya dapat dilihat dalam buku II bab XIV KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan.

Dilihat dari historisnya, regulasi mengenai perkosaan dalam hukum sudah ada sejak lama. Secara tradisional perkosaan telah didefinisikan dari sudut pandang laki-laki berdasarkan seksualitas laki-laki, perumusan Pasal 285, 286, 287, 297 KUHP tersebut menggambarkan dengan jelas standar nilai/moral yang dipakai oleh masyarakat dalam memperlakukan wanita.

Oleh karena itu perlu dilakukan suatu analisa yang lebih luas terhadap masalah ini, yang berkaitan dengan konteks di mana kaum perempuan dan perilakunya secara sosial didefinisikan dan dikontrol.

Kejahatan kesusilaan dalam bentuk perkosaan merupakan kejahatan tertua yang pernah ada dalam bidang kesusilaan.

Hubungan kelamin pada hakikatnya merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa kepada manusia dalam hubungannya dengan pasangan lawan jenis untuk dapat melakukan tugas prokreasi.

Sebagai sebuah anugerah, maka pelaksanaannya harus dilakukan dengan cara yang dikehendaki oleh Pencipta, yaitu dalam lembaga perkawinan.

Perkosaan lebih dari tindakan hubungan kelamin di luar perkawinan, melainkan paksaan kepada orang lain untuk melakukan hubungan tersebut atas dasar kepentingan sepihak.

Sebagai bahan perbandingan, Sexual Offences Bill 2003, Juni 2003 bahwa “rape concentrates on a specific form of sexual violation: penetration by penis”.

Persetubuhan dalam perkosaan dilakukan secara terpaksa oleh wanita, tidak dipersyaratkan apakah wanita tersebut kemudian memberontak melakukan perlawanan atau tidak.

Secara pasti, pelaku haruslah laki-laki yang melakukan perkosaan pada perempuan. Paradigma tersebut memang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan jika dibandingkan dengan perempuan.

Baca Juga :  Optimalisasi Penerapan Literasi Digital pada Pendidikan Anak Usia Dini 

KUHP hanya mempersyaratkan pelaku melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, baik berupa fisik maupun non fisik yang bertujuan untuk memaksa seorang wanita melakukan hubungan seksual.

Berdasarkan uraian di atas, jika dikaitkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh MSAT dan tidak bermaksud mendahului putusan pengadilan, bahwa penuntut umum sudah membuat surat dakwaan dengan model alternatif.

Penuntut umum menilai ada 2 (dua) perbuatan pidana yang didakwakan terhadap MSAT. Bahwa tindak pidana yang pertama dilakukan pada tanggal 8 Mei 2017 sedangkan tindak pidana yang kedua dilakukan pada tanggal 18 Mei 2017.

Kemudian lokasi tindak pidana terjadi di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang. Selanjutnya tindak pidana tersebut dilakukan MSAT terhadap korban berinisial MNK.

Dakwaan pertama yang buat oleh penuntut umum berdasarkan hasil riset penulis dari berbagai sumber, penuntut umum mendakwakan dengan Pasal 285 KUHP.

Setidaknya terdapat tiga syarat utama tindakan perkosaan sebagaimana diatur dalam pasal 285 KUHP yaitu: 1) seseorang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan; 2) memaksa seorang wanita; 3) bersetubuh dengan dia di luar pernikahan dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.

Kemudian dakwaan alternatif kedua, penuntut umum mendakwakan dengan Pasal 289 KUHP yang berisi 1) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 2) memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya 3) perbuatan cabul 4) dihukum karena merusakkan kesopanan dengan ancaman 9 tahun penjara.

Kemudian dakwaan ketiga diterapkan dengan Pasal 294 ayat 2 huruf 2e yang berisi pengurus, tabib, guru, pegawai, mandor (opzichter) atau bujang dalam penjara, rumah tempat melakukan pekerjaan untuk negeri (landswerkinrichting).

Ada pula rumah pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau balai derma, yang melakukan pencabulan dengan orang yang ditempatkan di situ dengan ancaman 7 tahun penjara.

Sementara jika dilihat perbuatan yang dilakukan lebih dari 1 (satu), maka penuntut umum men-juncto-kan dengan Pasal 65 KUHP.

Dalam hukum pidana Pasal 65 ini biasanya disebut concursus (pelaku yang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali dan salah satu tindak pidananya belum dilakukan penuntutan atau diputus pengadilan).

Lalu dari segi teori pemidanaan penerapan Pasal 65 memberikan konsekuensi bahwa penuntut umum bisa menambah 1/3 dari ancaman yang terberat.

Dari analisis penulis, penulis mengandaikan jika yang terbukti adalah Pasal 285 dengan ancaman 12 tahun penjara maka ditambah 1/3 maka hukumannya menjadi 16 tahun penjara.

Tetapi itu semua kembali kepada mekanisme pembuktian, yang kita tahu pembuktian perkara ini sangat rumit dan rigid.

Kemudian jika ada yang bertanya, mengapa UU Kekerasan Seksual tidak diterapkan? Maka jawabannya tentu tidak bisa menggunakan UU Kekerasan seksual karena diduga dilakukan pada 7 mei 2017 (persangkaan) dan UU Kekerasan Seksual disahkan pada tahun 2022, maka hal tersebut tidak boleh berlaku surut.

Bagaimana Dengan Korban?

Jika melihat konstruksi pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, maka pidananya adalah penjara. Kemudian bagaimana dengan korban, apakah sudah memenuhi rasa keadilan bagi korban yang sudah barang tentu korban secara psikis ada rasa trauma, takut, kehilangan keperawanannya, diberhentikan dari sekolah dan lain sebagainya.

Selain itu bagaimana tanggung jawab terdakwa terhadap korban mengingat jika melihat konstruksi pasal tersebuh hanya menghukum pidana badan terhadap terdakwa.

Analisis penulis, sebetulnya KUHAP memperbolehkan menggabungkan antara perkara pidana dan perdata, lebih tepatnya pada Pasal 98 KUHAP.

Jadi jika ada korban mengalami kerugian karena perbuatan yang dilakukan MSAT, maka korban bisa memohon perkara pidana dan perdatanya digabungkan.

Kemudian, hal itu dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.

Permintaan ini harus diajukan kepada hakim oleh korban, kuasa, wali atau lembaga lain yang mendapatkan kuasa.

Lalu, apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tantang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan itu. []

 Penulis adalah alumnus Hukum UNS

Paralegal di Surakarta

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com