JOGLOSEMARNEWS.COM – Indonesia mempunyai sejarah penegakan hukum yang masih banyak perlu diberi catatan. Sebut saja kasus yang menyeret Jaksa Pinangki, lalu kasus Baiq Nuril, dan masih banyak lagi. Penegakan hukum yang imparsial, tidak tendensius, objektif merupakan hal yang masih jarang didapati apabila dibandingkan dengan resultan kasus yang tidak ditangani dengan sungguh-sungguh.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”, yang mengamanatkan kepada setiap peradilan harus menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Apabila dirumuskan secara negatif, maka berbunyi tidak akan ada hukum dan keadilan di Indonesia dapat tergenapi tanpa melibatkan Pancasila.
Dalam rangka menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, penegak hukum bukanlah orang sembarangan, mereka haruslah seorang yang telah diuji, orang pilihan yang terbaik di antara yang terbaik, sehingga kehadirannya dalam pergulatan penegakan hukum mampu membawa rahmat bagi pencari keadilan.
Independensi dan Akuntabilitas Peradilan
Paling tidak modal elementer dalam menjalankan keadilan Pancasila yaitu dengan menerapkan independensi dan akuntabilitas peradilan.
Independensi adalah suatu keadaan atau posisi di mana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Kemudian akuntabilitas merupakan keadaan untuk dipertanggungjawabkan atau keadaan untuk diminta pertanggungjawaban.
Berbicara mengenai Independensi dan akuntabilitas, hal tersebut merupakan dua prinsip kunci dalam kekuasaan kehakiman yang kadangkala sering bertolak belakang. Secara teori kedua prinsip ini dapat dijelaskan secara gamblang, namun dalam tataran pelaksanaan tidak mudah menjalankan prinsip-prinsip ini.
Meskipun dalam praktik seringkali terjadi benturan antara prinsip independensi dan akuntabilitas, namun Sifris menyatakan bahwa “These two concepts of judicial independence and judicial accountability are not necessarily in conflict” karena pada dasarnya “mature legal systems are characterized by both judicial independence and judicial accountability”.
Oleh karena itu, tantangan utama dari hubungan antara keduanya adalah “to balance these two concepts so that an appropriate level of judicial constraint is cultivated without undermining the essence of judicial independence”.
Dengan balancing, hakim dapat membuat putusan yang bebas dari pengaruh-pengaruh, dan dalam waktu yang bersamaan, terdapat kontrol oleh pihak lain dalam pelaksanaan pengambilan putusan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengambil satu contoh kasus tindak pidana penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Jika kita kembali mengingat kasus tersebut, maka dalam situasi pada saat itu hakim dapat dikatakan dalam tekanan, sebab setiap persidangan berlangsung di luar terjadi demo yang masif.
Apabila berpijak pada adagium vox populi vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) maka sudah jelas putusan yang berdasarkan suara para pendemo itu dapat dipertanggung jawabkan.
Tetapi apakah putusan itu melibatkan independensi? Belum tentu! Nampaknya suara Tuhan bukanlah dalam pengertian sempit seperti seruan para pendemo dalam kasus Ahok.
Suara Tuhan hanya dapat ditangkap dalam dimensinya yang transenden dan dalam pergumulan hidup seorang hakim yang intim dengan Tuhan Yang Maha Esa. Keseimbangan antara indepedensi dengan akuntabilitas sebagai salah satu bukti penegakan hukum berbasis Pancasila.
Makna Penegakan Hukum dan Keadilan Berdasarkan Pancasila
Terdapat 5 (lima) makna dari penerapan dan penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Pertama, penegak hukum yang ber-Ketuhanan adalah penegak hukum yang mempunyai kehidupan bukan hanya baik secara fisik dan jiwa, tetapi juga baik secara spiritual.
Dengan kata lain, penegak hukum dalam horison terdalamnya mempunyai kehidupan rohani yang intim dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dimensi rohani tersebut begitu sarat dengan nilai dan prinsip, sehingga Tuhan Yang Maha Esa hanya dapat dikenal, dimengerti dan dihayati dengan benar oleh penegak hukum dalam dimensinya yang rohani, bukan hanya dimensi fisik belaka.
Panitia Lima, mengemukakan alasan mengapa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjadi Sila Pertama Pancasila, alasannya adalah menjadi dasar untuk memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya, dengan demikian negara memperkokoh fundamennya.
Dalam kerangka inilah mengapa penting bagi setiap penegak hukum maupun hakim untuk mengedepankan sisi spiritualitasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Kedua, penegak hukum yang memberi keinsyafan bahwa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak akan berarti sama sekali apabila mengabaikan visi kemanusiaan, keadilan dan keadaban.
Jadi ada keterkaitan mutlak antara dimensi vertikal (Tuhan-manusia) dengan dimensi horizontal (manusia-manusia) yang satu dengan lainnya tidak dapat berdiri sendiri.
Hal ini bukan tanpa sebab, karena hubungan Tuhan dengan manusia itu sedekat gambar dan rupa-Nya, sedekat dan semirip pantulan wajah pada suatu cermin, inilah konsep manusia sebagai gambar dan rupa Allah (Imago Dei), dengan kata lain apa yang dikehendaki manusia harus selaras dengan apa yang dikehendaki Tuhan.
Sehingga bukti penegak hukum (terkhusus hakim) berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa ditunjukkan melalui mengedepankan visi kemanusiaan, keadilan, dan keadaban dalam penegakan hukum secara imperatif.
Contoh, hukuman mati kepada Herry Wirawan merupakan bentuk putusan berbasis kemanusiaan dan keadaban. Dalam kisah agama samawi pun, Tuhan Allah beberapa kali tidak segan-segan untuk menghukum manusia sampai merenggut nyawa manusia yang melanggar perintah-Nya karena sudah melewati ambang batas normal. Bukan berarti putusan yang menghukum mati seseorang itu putusan yang tidak Pancasilais.
Ketiga, hakim melalui putusannya mempertimbangkan persatuan. Basis dari persatuan lagi-lagi soal imparsialitas. Di sini hakim melihat bahwa setiap perkara yang diajukan di pengadilan dapat berpotensi membuat para pihak yang bersengketa atau berperkara hubungannya menjadi renggang.
Oleh karena itu hakim melalui putusannya tidak boleh menyelipkan kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Putusan itu harus mempertimbangkan keseluruhan moralitas publik yaitu persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara, jadi kalah atau menang bukan menjadi soal utama namun untuk memberi penegasan bahwa persatuan lebih utama daripada menang atau kalah.
Keempat, penyelenggara negara dan penegak hukum (terkhusus hakim) dalam menjalankan tugasnya dipandu hikmat dan kebijaksanaan. Penegakan hukum yang berbasis Ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, keadaban dan persatuan memperoleh kekuatannya ketika dibekali dengan dua perangkat khusus yaitu hikmat dan kebijaksaan.
Hikmat dan kebijaksanaan ini hasil dari permenungan dan ketelitian yang terus menerus, sehingga dalam membaca setiap case, hakim dapat menentukan, mempertimbangkan, menilai dengan tepat untuk memutuskan sebagaimana mestinya.
Terkhusus ketika hakim menghadapi kasus khusus atau berat yang membutuhkan keterlibatan moral dalam menjatuhkan putusannya. Tanpa hikmat dan kebijaksanaan maka setiap putusan (dalam kasus yang berat atau khusus) itu seperti hidup tanpa kehidupan, seperti tubuh tanpa roh.
Kelima, ujung dari penegakan hukum adalah memberikan keadilan sosial. Keadilan yang berpihak kepada mereka yang lemah, yang tersingkir, yang tidak punya harapan. Tidak sedikit orang mencuri dikarenakan ia tidak bisa makan dan meminta bantuan pun tidak ada yang memberi.
Dalam kasus yang demikian kendati ia benar-benar memenuhi unsur delik pencurian secara formil namun siapa yang betah menjalani hidup dalam keadaan lapar yang terus-menerus? Oleh sebab itu dikenal adanya konsep restorative justice dalam memberi landasan bagi para penegak hukum menyelesaikan kasus-kasus tertentu.
Di dalam konsep a quo kita belajar mengenai epikeia yaitu perasaan seolah penegak hukum mengalami sendiri apa yang dialami oleh tersangka/terdakwa, sehingga mampu memutuskan berdasarkan sisi kepantasan.
Implementatif Dimensi Transenden ke Imanen
Salah satu lagu nasional resmi New Zealand adalah “God Defend New Zealand”, oleh karena Tuhan telah membela New Zealand maka sebagai ucapan syukur warga New Zealand kepada Tuhan, mereka menyelenggarakan jalannya negara dengan modal “kejujuran”.
Dimensi transendental mengalir dari lagu nasional kepada kejujuran warga negaranya (dimensi imanen). Terbukti, dengan menggunakan kejujuran sebagai basis penyelenggaraan negara, New Zealand mendapat predikat salah satu pendidikan terbaik di dunia yang melahirkan sumber daya manusia yang unggul, serta masyarakat yang sejahtera dan aman.
Peradilan di Indonesia dalam setiap irah-irah putusannya juga mempunyai kandungan transendental yang kuat yaitu “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tepat di titik ini, dimensi transendental dari setiap putusan yaitu menghadirkan Tuhan dalam memberikan putusan (invacatio Dei) yang seharusnya memberikan arah kepada putusan-putusan yang bermutu.
Namun dalam praktik tidaklah demikian, justru masih banyak putusan pengadilan yang memberikan putusan mengingkari hukum dan bahkan keadilan terlebih Pancasila. Begitu nampak bahwa dimensi spiritual tidak dilibatkan sejak awal dalam proses penegakan hukum.
Padahal dalam konteks sistem peradilan pidana, suatu putusan bermutu tidak muncul tiba-tiba tetapi harus dimulai dengan proses penyelidikan-penyidikan-penuntutan yang baik, benar dan jujur.
Apabila dari hulu proses penegakan hukum dilakukan dengan serampangan dan sembarangan apalagi ada berbagai manipulasi, maka di hilir sulit kiranya suatu putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” akan terwujud sebagai ujung pergulatan iman (transenden) seorang hakim ke dalam putusannya (imanen).
Tanpa adanya penegakan hukum dan keadilan yang benar dan jujur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka Tuhan Yang Maha Esa hanya hadir menilai tanpa memberi ilham kepada hakim di Indonesia untuk memutus suatu perkara. []
Titus Yoan, S.H dan Alfendo Yefta, S.H