JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Nasional

Sampai Ada Pengusaha Kekeuh Jadikan PP 36 Acuan Upah Minimum, Serikat Buruh Siap Tuntut Pidana

Presiden Partai Buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal / tempo.co
   

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Jika ada perusahaan yang menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) 36 tahun 2021 sebagai acuan untuk pengupahan buruh, maka Presiden Partai Buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal bertekad bakal menuntut pidana.

“Kami tuntut pidana. Saya akan bawa ke pengadilan, karena itu berarti itu penggelapan gaji buruh,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Minggu (20/11/2022).

Pasalnya, pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan telah menekan aturan baru, yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang penetapan upah minimum tahun 2023.

Dalam beleid itu, kenaikan upah minimum diatur naik maksimal 10 persen.

Sehingga, jika pengusaha masih menggunakan formula dalam PP Nomor 36 tahun 2022, gaji buruh akan lebih kecil dari aturan.

Said mencontohkan, misalnya jika berdasarkan Permenaker Nomor 18 tahun 2022 gaji seorang buruh Rp 4 juta per bulan, dengan PP Nomor 36 tahun 2021, gaji buruh hanya dibayar Rp 38 juta.

“Berarti ada penggelapan Rp 200.000 dan ingat unsur penggelapan itu ada perdata dan pidana,” ucapnya.

Baca Juga :  Sejak Pilpres 2004 Hingga 2024, MK Selalu Tolak Gugatan Pilpres, Prabowo Cetak ‘Hattrick’ Ditolak MK, Kini Kondisi Berbalik

Di sisi lain, ia yakin Menaker Ida Fauziyah bersama Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Indah Anggoro Putri akan bertindak tegas dan memberikan hukuman jika terbukti ada pengusaha yang masih menggunakan PP Nomor 36 tahun 2021 sebagai acuan upah minimum.

“Saya sangat yakin keduanya luwes tapi tegas, jadi akan ditindak tegas,” tuturnya.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan akan mengajukan gugatan ihwal aturan baru upah minimum itu.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Antonius Joenoes Supit mempertanyakan kebijakan kenaikan UMP tersebut.

“Kalau peraturan menteri yang tidak sejalan dengan UU atau PP, benar atau salah? Itu saja,” ujar dia saat dihubungi pada Minggu (20/11/2022).

Kendati demikian, Antonius berujar asosiasinya masih akan melakukan diskusi internal untuk membahas langkah berikutnya atas peraturan menteri tersebut.

“Kita akan diskusikan internal. Saya kebetulan masih di luar kota,” kata dia.

Adapun pemerintah memutuskan untuk menaikan minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten dan kota (UMK) untuk kemampuan daya beli masyarakat.

Baca Juga :  MK Sebut Dalil Presiden Intervensi Pencalonan Gibran Tak Beralasan Secara Hukum

“Kemampuan daya beli itu diwakili variabel tingkat inflasi dan variabel pertumbuhan ekonomi yang tercipta dari indikator produktivitas dan indikator perluasan kesempatan kerja,” tutur Ida Fauziyah dalam video YouTube Kementerian Ketenagakerjaan diunggah pada Sabtu (19/11/2022).

Menurut dia, saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih akibat dampak pandemi Covid-19.

Daya beli juga semakin menurun seiring ketidakpastian ekonomi global yang berimplikasi menekan laju pemulihan ekonomi nasional.

Padahal struktur ekonomi nasional mayoritas di sumbang oleh konsumsi masyarakat. Maka pemulihannya sangat dipengaruhi oleh daya beli dan fluktuasi harga.

Karena itu, pemerintah tak lagi menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) 36 tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai acuan karena dinilai belum dapat mengakomodir dampak dari kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Dalam beleid itu, penentuan upah minimum tidak seimbang dengan laju kenaikan harga-harga barang.

“Sehingga dikhawatirkan akan mengakibatkan menurunnya daya beli pekerja terjadi kembali di tahun 2023,” ucap Ida.

www.tempo.co

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com