SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM —Wakil Ketua Dewan Pers, Agung Dharmajaya menilai indeks kebebasan pers di Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Meskipun harus diakui masih ada sejumlah wilayah di tanah air yang masih rendah indeks kebebasan persnya, terutama di daerah rawan konflik.
“Indonesia itu dinamikanya luar biasa. Terdiri dari beragam suku, perbedaan kelompok, dan karakter masyarakat di berbagai wilayah yang beraneka ragam. Jadi ketika membandingkan kebebasan pers dengan negara lain juga tidak bisa apple to apple,” ungkap Agung dalam Diskusi bertema “Refleksi Indeks Kebebasan Pers di Indonesia” yang digelar Kominfo Pusat bertempat di Monumen Pers Nasional (MPN) Surakarta, Rabu (31/5/2023).
Agung menambahkan, belum lagi jika dilihat dari jumlah media dan wartawan yang ada di Indonesia juga sangat jauh dibandingkan dengan sejumlah negara lain. Sehingga itu juga mempengaruhi indikator penilaian terhadap kebebasan pers di Indonesia.
“Misalnya kalau dibandingkan dengan Timor Leste yang penilaian indeksnya berada di atas kita tentu kan beda. Di Timor Leste tidak sedinamis di Indonesia. Termasuk jumlah wartawannya dengan Solo saja lebih banyak di Solo, misalnya semacam itu,” ungkap Agung.
Apa yang disampaikan Agung tersebut sekaligus menanggapi adanya hasil riset lembaga nirlaba Reporters Without Borders (RSF) yang menempatkan kebebasan pers Indonesia di tahun 2023 berada di peringkat 108 dari 180 negara. Peringkat Indonesia jauh di bawah Malaysia (73) dan Timor Leste (10).
Di sisi lain, Agung mengajak semua pihak untuk turut berperan aktif mengawal kebebasan pers di tanah air. Pasalnya, kebebasan pers tidak bisa hanya diusahakan oleh Dewan Pers saja. Sesuai amanah UU No 40 tahun 1999, salah satu pekerjaan utama Dewan Pers adalah menjamin kebebasan pers.
“Tentunya, menjamin kebebasan pers tidak hanya bisa dilakukan Dewan Pers, wartawan, atau satu dan dua pihak, tapi semua pihak. Mulai dari Polri, TNI, akademisi, dan unsur manapun, termasuk pemerintah,” tambah Agung.
Sementara itu, pembicara lainnya Anas Syahirul dari Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Surakarta menyatakan, tantangan yang dihadapi pers Indonesia untuk memperoleh kebebasan pers sangat ditentukan situasi politik bernegara.
“Masing-masing masa, memiliki tantangan dan pengalaman yang berbeda. Misalnya, sejak orde baru kemudian disusul reformasi dan era disrupsi teknologi masing-masing karakter tantangan yang dihadapi kalangan pers untuk mendapatkan jaminan kebebasan pers sangat berlainan,” ujar Anas yang mewakili dari kalangan pers.
Anas menyebutkan, saat ini setidaknya ada lima tantangan yang dihadapi kalangan pers untuk memperoleh kebebasan pers. Pertama, adalah makin banyaknya serangan digital kepada pers atau personal wartawan karena karya jurnalistiknya.
“Serangan digital itu sering intimidatif, kriminalisasi dalam bentuk doxing, hacking (penyadapan), cyber bullying (perundungan cyber), pelabelan hoax dan lainnya,” ungkapnya.
Tantangan kedua, lanjut Anas, masih adanya regulasi negara yang berpotensi merugikan atau menciderai kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Misalnya UU No 27 tahun 2022 tentang PDP (Perlindungan Data Pribadi), UU No 1 tahun 2023 tentang KUHP, UU no 19 tahun 2016 tentang Perubahan ITE dan lainnya.
Ketiga, persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi pekerja pers. Keempat, potensi pembredelan lembaga pers kampus (LPM) yang masih dilakukan oleh petinggi kampus.
Kelima, ancaman terhadap pers di tahun politik Pemilu 2024. “Memasuki tahun politik dan pemilu 2024, patut diwaspadai bagi kemerdekaan pers. Kalangan awak media rentan mengalami kriminalisasi. Sejumlah regulasi dan tindakan pihak-pihak tertentu berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Padahal, media bekerja untuk memenuhi hak publik untuk mengakses informasi secara transparan dan berimbang,” ujar Anas.
Diskusi dibuka oleh Dr Nursodik Gunarjo, M.Si, Direktur Pengelolaan Media Kementerian Kominfo. Tampak hadir pula Kepala Monumen Pers Nasional (MPN) Surakarta, Widodo Hastjaryo dan tamu undangan lainnya. Peserta diskusi berasal dari kalangan wartawan, pimpinan media dan kalangan stake holder informasi di Surakarta. (Suhamdani)