JOGLOSEMARNEWS.COM KOLOM

Paradigma Hukum Profetik, Sebuah Alternatif

Oleh : Budi Santoso*
   
Oleh : Budi Santoso*

Dominasi paradigma rasional dalam pembangunan hukum di Indonesia, ternyata tidak seluruhnya memberikan hasil yang baik dalam berhukum di Tanah Air, berbagai kritik acap kali mencuat ke permukaan.

Begawan Hukum, Satjipto Rahardjo pun melihat adanya kelemahan dengan dipergunakannya paradigma rasional itu, yakni tergelarnya penyelengaraan hukum nasional yang mengadopsi begitu saja produk hokum Barat.

Kemudian, tipe penegakan hukum yang hanya mampu menjelaskan proses proses hukum normal dan sangat terbatas, sehingga sulit mengantisipasi bila terjadi kemelut dan terakhir, model pendidikan tinggi hukum yang lebih berorientasi pada profesional law school, atau menjadi tempat penyiapan mahasiswa sebagai pelaku hukum profesional.

Sebagai alternatifnya, dia lantas menyarankan agar ilmuwan hukum kita memiliki kemampuan untuk melakukan theory building yang khas Indonesia, serta penegakan hukum yang progresif.

Jika ditengok ke belakang, munculnya  kritik terhadap paradigm rasional dalam ilmu hukum ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya kritik sebelumnya terhadap paradigma Galilean yang didukung oleh para ilmuwan dan filosof dari madzab positivism dalam ilmu sosial.

Setelah ambruknya tatanan dunia dan nilai-nilai abad pertengahan, Barat modern yang mengusung aliran positivism bergerak dengan logikanya sendiri, membentuk alur yang berkorelasi dengan dimensi-dimensi sekularisme, liberalisme dan pluralisme.

Aspek-aspek epistemologi yang berdasar pada nilai-nilai sekular, liberal dan pluralism inilah yang kemudian menimbulkan respon dari berbagai kalangan. Syed Muhammad Naquib al-Attas pun menanggapi, menurutnya tantangan terbesar yang dihadapi manusia saat ini adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral, yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat.

Wajah peradaban Barat modern telah menceraikan antara ilmu dan agama, melenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu, memisahkan wujud dari yang sakral. Oleh sebab itu, perlu dilakukan revolusi epistemologis untuk menjawab tantangan hegemoni westernisasi ilmu ini. Ungkapan senada juga dilontarkan Wan Mohd Nor Wan Daud, yang menyatakan salah satu sumber krisis peradaban manusia modern saat ini adalah krisis dalam keilmuan dan pemikiran.

Dan inti dari krisis ini merupakan akar dari krisis epistemologi yang terjadi karena konsep ilmu yang dikembangkan Barat melenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu dan memisahkan ilmu dari agama.

Pada saat ini, sebagaimana dikemukakan Giancarlo Bosetti, telah terjadi titik balik dalam hubungan antara agama dan kehidupan  masyarakat. Kondisi ini menimbulkan kesadaran bagi sebagian ilmuwan di Barat, untukmemikirkan dan merumuskan relasi antara ilmu dan agama secara lebih hati-hati, seraya mereduksi keyakinan saintisme yang selama ini mendominasi.

Dalam kontek demikian, minimal terdapat tiga kelompok pendapat yang muncul di kalangan para ilmuwan, dalam merespon relasi antara ilmu dan agama. Kelompok pertama, tampil para tokoh yang masuk sebagai pendukung post-modernisme yang didominasi oleh doktrin nihilism, relativisme pluralism.

Doktrin nihilsme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas sebagai serangan terhadap agama yang menjadi asas moralitas. Kelompok kedua, adalah para ilmuwan yang menyarankan perlunya dialog antara ilmu pengetahuan dan agama, serta mengakui adanya sumbangan yang dapat diberikan oleh agama dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi tetap menempatkan agama dalam posisi inferior di hadapan ilmu pengetahuan.

Menurut Jurgen Habermas dan Joseph Ratzinger, yang berdasar refleksi pribadinya melakukan penafsiran ulang tentang bagaimana seharusnya relasi yang terjadi antara iman dan pengetahuan, melalui sebuah konsep yang kemudian dikenal dengan nama masyarakat pasca secular.

Adapun kelompok ketiga, adalah ilmuwan yang memfokuskan perhatiannya pada kemungkinan adanya integrasi antara ilmu pengetahuan dan agama. Upaya Fritjof Capra, fisikiawan yang mencoba memadukan antara sains dan agama, khususnya fisika modern dengan gagasan metafisika dari berbagai tradisi filosofi dan relegius Timur Jauh.

Dengan adanya kesadaran sejak manusia meninggalkan Alloh menuju atiesme, manusia mengalami kekeringan rohani. Namun Capra hanya mengadopsi mistisisme timur yang hanya memberikan kepuasan metafisika tanpa perlu mengakui Allah yang berdaulat, maka paradigma yang dikenal sebagai Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) memiliki keberterimaan yang relative baik di dunia Barat.

Berdasarkan deskripsi di atas, terlihatlah bagaimana pentingnya upaya-upaya melakukan rekontruksi epistemologis untuk membebaskan manusia dari belenggu tradisi magis, mitologi, animistis dan kultur yang memisahkan ilmu dan agama.

Untuk melakukan itu semua perlu dilakukan perubahan, tidak saja di tataran praktis operasionalnya, akan tetapi dan justru yang lebih utama adalah di level paradigm atau world view.

Dari argumen-argumen itulah, maka Buku Ilmu Hukum Profetik ‘’Hampiran Basis Epistemologi dan Paradigmatik’’ karya Dr.Kelik Wardiono, S.H., M.H bias menjadi jembatan pemikiran alternatif di ranah perkembangan ilmu hukum tanah air. Doktor hukum UMS itu, menawarkan sebuah paradigma baru dalam ilmu hukum, yaitu Paradigma Profetik, terutama dilakukannya dengan mengkaji aspek asumsi dan model dari basis epistemologinya.

Kelik mencoba menampilkan paradigma profetik sebagai alternatif dalam proses pembangunan ilmu hukum yang saat ini, diakuinya sangat didominasi oleh paradigm rasional, yang didukung oleh pemikir dan filsof dari madzab filsafat hukum.

Di Indonesia, konsep profetik mencuat ke permukaan setelah Kuntowijoyo menawarkan ilmu social profetik. Istilah yang diperkenalkan Kuntowijoyo itu, dimaksudkan sebagai alternatif terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman, yang merumuskan teologi baru yang disebutnya sebagai teologi transformative. Belakangan, istilah teologi transformative itu pun diganti menjadi profetik.

Pengkajian terhadap pemikiran tentang ilmu hukum, belumlah banyak dilakukan di Indonesia. Salah satu yang langka itu, Khudzaifah Dimyati hadir dan berupaya membangun teorisasi hukum yang berkarakter keindonesiaan. Melalui disertasinya yang berjudul :’’Teorisasi Hukum : Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990’’ berhasil mengidentifikasikan tipologi pemikiran hukum yang berkembang di tanah air.

Menurutnya, masing-masing tipologi pemikiran, memberikan respon intelektual dan latar belakang sosialnya, gagasan serta pandangan yang beragam tergantung setting akademik dan latar belakang akademik sosialnya masing-masing. Untuk dapat mewujudkan ilmu hukum di Indonesia, haruslah bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan dan perlindungan yang berintikan keadilan.

Upaya membentuk teorisasi hokum dengan karakter khas Indonesia itu pun dilanjutkan oleh Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, melalui tiga penelitian lainya, Dialektika Hukum : Karateristik dan Orientasi Pemikiran Hukum Berbasis Nilai Budaya Hukum Indonesia (2008); Pemikiran Hukum Berbasis Nilai Budaya Hukum : Sebuah Tambatan Filosofis tentang Fondasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum di Indonesia (2009) dan ; Pemikiran Hukum : Sebuah Kontruksi Epistemologi dalam Pemikiran Berbasis Nilai Budaya Hukum Indonesia (2010). (*)

—-*Penulis adalah Staf Pengajar FKI UMS—-

 

 

 

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com