JOGLOSEMARNEWS.COM Daerah Wonogiri

Pekerjaan yang Telah Punah, Pembuat Garam di Pantai Selatan Paranggupito Wonogiri Pernah Dilakukan Masyarakat Kecamatan Pracimantoro Paranggupito Giritontro dan Giriwoyo. Punah Gegara Kandungan Yodium Kurang Bagus dan Waktu Pembuatannya Lama

Seorang warga menikmati panorama memukau Pantai Sembukan Paranggupito Wonogiri. JSNews. Aris Arianto
   
Seorang warga menikmati panorama memukau Pantai Sembukan Paranggupito Wonogiri. JSNews. Aris Arianto

WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ternyata pembuat garam pernah menjadi salah satu profesi sebagian warga Kecamatan Paranggupito, Wonogiri. Mereka memproduksi garam dari air laut selatan sekitar pantai di Paranggupito.

Namun profesi tersebut sudah tidak digeluti lagi. Pasalnya kualitas garam tidak sesuai standar lantaran kandungan yodiumnya yang kurang bagus.

Soal profesi yang telah lunah itu diungkapkan Kepala Desa (Kades) Paranggupito, Dwi Hartono. Menurut dia,
sisa-sisa aktifitas membuat garam masih bisa dilihat saat ini. Yakni banyaknya bekas alat memasak dari tanah liat yang ditemukan di sekitar tebing atau pantai di kawasan Paranggupito. Alat yang digunakan saat itu yakni klenting, kwali dan kendil.

Selain itu masih ditemukan beberapa gubug di bukit sekitar pantai. Gubug itu digunakan masyarakat untuk menginap saat mereka membuat garam di sekitar pantai.

Baca Juga :  Pembunuhan Setren Slogohimo Wonogiri, Tersangka Terancam Hukuman 15 Tahun Penjara

Dia mengatakan sekitar 1960-1970 terjadi paceklik. Saat warga kehabisan makanan, mereka melakukan barter perabotan dan perlengkapan rumah tangga dengan makanan.

Pada masa sulit saat itu, kata dia, masyarakat menemukan ilmu membuat garam. Karena wilayah Paranggupito paling selatan berbatasan langsung dengan laut.

Dwi mengatakan, dulu orang buyan (sebutan untuk masyarakat yang tinggal di dataran rendah) yang berada di sekitar Paranggupito, seperti warga Kecamatan Giritontro, Giriwoyo dan Pracimantoro pergi ke Paranggupito untuk membuat garam di sekitar pantai. Mereka bersama-sama ke pantai dengan warga sekitar. Gerabah yang dibawa digunakan untuk mengambil air di laut.

“Orang sini mengistilahkan dengan ngangsu neng segara,” ungkap dia, Minggu (28/2/2021).

Proses membuat garam saat itu dengan cara air laut dimasak menggunakan kayu bakar. Setiap delapan liter air yang direbus, menghasilkan setengah kilogram garam. Proses merebus memutuhkan waktu lama, karena airnya harus habis.

Baca Juga :  Semarak Semangat Kartini Wonogiri Padukan Kreativitas dan Kemerdekaan Belajar

“Garam setengah kilogram saat itu sangat berharga. Karena makanan mahal. Garam digunakan bumbu masak ayam atau kambing. Jadi dulu itu lebih sering makan daging dan daun daripada nasi. Masyarakat lebih sering menyembelih kambing dan ayam ternaknya. Selain itu juga makan pisang yang dimiliki di pekarangan,” ujar dia.

Menurut Dwi, mulai 1965, makanan sudah mulai mudah didapatkan. Masyarakat mulai berbenah dan mulai mengurangi membuat garam. Salah satu alasan masyarakat saat itu tidak mempertahankan pembuatan garan karena memakan banyak waktu, mulai dari proses merebus hingga mencari kayu bakar.

Pernah ada yang mencoba membuat garam dengan cara dijemur di atas terpal. Tidak selang lama pembuatan garam itu dihentikan lantaran kandungan zodiumnya kurang bagus. Aria

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com