Beranda KOLOM GURU BANGSA ITU TELAH TIADA

GURU BANGSA ITU TELAH TIADA

Alm Prof Dr Syafii Maarif / tempo.co
Niken Satyawati. Foto: Istimewa

Catatan : Niken Satyawati*

Indonesia berduka. Seorang guru bangsa telah tiada. Prof Dr KH Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii. Tokoh yang sangat disayangi dan dihormati oleh kita semua. Seorang ulama besar, cendekiawan, tokoh yang pernah menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).

 

Buya Syafii meninggal pada hari Jumat, 27 Mei 2022 pukul 10.00 WIB di RS PKU Gamping, Yogyakarta. Tak dipungkiri, Buya memang sudah sepuh. Tapi tetap saja kita nyesek kehilangannya. Pemberitaan media didominasi oleh wafatnya tokoh besar moderat ini.

 

Laman media sosial pun riuh dengan ucapan belasungkawa dan ungkapan kehilangan.

Tentu saja. Karena Buya Syafii bukan tokoh sembarangan. Pandangan dan pikirannya selalu jernih dan sejuk, sesejuk tatapan matanya. Buya adalah cahaya terang bagi bangsa ini. Teladan bagi semua orang. Sosok yang petuahnya selalu dinantikan.

 

Buya selalu mengingatkan arti penting kehidupan dalam keberagaman dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Itulah kenapa beliau mendirikan Maarif Institute, sebuah NGO yang konsisten dalam misi menyemai perdamaian.

 

Buya Syafii yang lahir di Nagari Calau, Sampur Kudus, Minangkabau 31 Mei 1935, adalah tokoh besar yang sangat bersahaja. Buya adalah tokoh nasional yang begitu membumi. Hidup Buya jauh dari kesan hedon–yang jamak terjadi pada tokoh-tokoh Indonesia lainnya. Hidupnya lurus sebagai panutan. Tak pernah dia pamer harta, mobil dan tak merasa perlu ganti istri yang milenial jelita.

 

Buya Syafii, di usia belia hijrah ke Jawa dan sekolah di Madrasah Muallimin Yogya. Kemudian kuliah di Universitas Cokroaminoto Surakarta dan IKIP Jogja sambil aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lalu lanjut program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio dan program doktor di Universitas Chicago, AS.

 

Pernah menjadi guru honorer di Baturetno Wonogiri dan Solo, pernah juga dagang ini-itu kecil-kecilan. Buya kemudian menjadi wartawan “Suara Muhammadiyah”, majalah yang diterbitkan PP Muhammadiyah dan menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Setelahnya dia mengabdikan diri di persyarikatan dan terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Tidak hanya satu periode melainkan dua periode. Pada periode 1998-2002 melalui Sidang tanwir dan Rapat Pleno Pimpinan Pusat dan periode 2002-2005 melalui Muktamar ke-44.

 

Tempat tinggal Buya di perkampungan biasa, termasuk sederhana. Di usia tua, kemana-mana dia tetap memilih bersepeda. Kalau jauh menumpang angkutan massal yang ada. Saat periksa ke dokter, dia menolak didahulukan. Memilih antre mengikuti urutan kedatangan seperti pasien lainnya.

 

Banyak kisah yang mencerminkan kesahajaan Buya. Suatu ketika, Buya Syafii diundang untuk mengikuti acara peluncuran Program Penguatan Pendidikan Pancasila di Ibukota. Buya menolak dijemput panitia dengan menggunakan mobil. Dia memilih menumpang KRL ditemani oleh keponakannya.

 

Kisah lain di sebuah acara di sekolah Muallimat, Buya menjadi narasumber. Saat datang dan sehabis acara Buya menolak diantar mobil. Malah menumpang angkutan umum. Buya cukup diantar ke jalan raya mencegat angkutan itu oleh panitia. Panitia yang mengantarnya sambil hujan-hujanan dengan motor, menuliskan kisah itu di Twitter.

 

Dalam sebuah perjamuan yang diikuti tokoh-tokoh besar, semua menumpang atau mengendarai mobil pribadi yang bagus dan mewah. Buya Syafii menolak ketika ditawari menumpang salah satunya. Memilih naik Avanza yang dikendarai kerabatnya. Masih banyak kisah tentang betapa bersahajanya kehidupan Buya yang akan membuat hati siapapun menjadi hangat.

 

Buya Syafii, kalau bicara pelan namun jelas dan runtut. Hingga di usianya yang lanjut, pernyataan-pernyataannya mengikuti nalar yang sehat. Buya tak pernah menghina, merandahkan, menuding yang lain begini atau begitu. Ucapan Buya begitu tertata. Tak pernah tendensius apalagi body shaming pada sosok dari sebuah kelompok demi untuk menyenangkan kelompok lainnya. Sama sekali tidak.

 

Ketika agama menjadi senjata politik, ketika MUI menjadi wahana menjatuhkan salah satu calon kepala daerah, ketika Indonesia mengalami karut marut dan pikiran masyarakat menjadi bingung dengan banyaknya hasutan politik mengatasnamakan agama, ketika semua terprovokasi, tidak demikian dengan Buya. Pikiran dan pandangan Buya tetap jernih.

Tergambar ketika menyikapi kasus Ahok yang begitu heboh menjelang Pilkada DKI. “Ahok Tidak Menistakan Agama. Ahok tidak menghina Alquran,” demikian beliau berkata disertai argumennya. Buya Syafii menilai video ucapan Ahok yang tersebar di media sosial harus dicermati secara utuh. “Secara utuh pernyataan Ahok telah saya baca. Ahok tidak mengatakan Al Maidah itu bohong,” tegasnya.

 

Pendapat Buya sama sekali berbeda dengan ulama kebanyakan termasuk fatwa MUI yang kemudian diikuti demo berjilid-jilid itu. Kebanyakan orang saat itu telanjur terhasut postingan Buni Yani yang memotong pernyataan Ahok hingga hilang konteksnya. Tapi Buya tidak. Belakangan Buni Yani sendiri masuk penjara karena melanggar UU ITE akibat memotong video pidato Ahok.

 

Pandangan Buya membuatnya dibenci kelompok yang terhanyut dengan politisasi agama. Bahkan ada stigma yang menyebut Buya pembenci Islam, padahal Buya sehari-hari sangat lurus dalam ibadah dan sosok yang penuh kasih terhadap sesama.

 

Saat ribut revisi Undang Undang KPK, Buya berdiri di belakang mahasiswa. Buya berbeda pandangan dengan kelompok yang sebelumnya mengelukannya ketika membela Ahok. Akhirnya, Buya pun dibenci sejumlah orang dari pembela pemerintah. Padahal Buya sekian lama mencurahkan jiwa dan raganya membantu pemerintah, khususnya dalam program-program membumikan nilai-nilai Pancasila.

 

 

Begitulah Buya Syafii

Satu dari tokoh penting yang dimiliki Indonesia

Representasiu Islam rahmatan lil alamin

Sosok yang takkan terganti

 

Wilujeng tindak, Buya Syafii Maarif

Selamat jalan, Guru Bangsa…

Indonesia kehilangan

 

–*Penulis adalah Presidium Mafindo—