JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Opini

Menyoal Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP Nasional

Ilustrasi / tempo.co
ย ย ย 

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM Mengingatkan kembali memori kita sekitar tiga tahun lalu telah terjadi gejolak pro dan kontra masyarakat mengenai rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Rupa-rupanya, gejolak pro dan kontra tersebut pada tahun 2022 ini kembali terjadi, bahkan semakin memanas.

Hal tersebut ditengarai dengan masih eksisnya pasal-pasal yang dinilai masih kontroversial, multiafsir dan mengancam demokrasi.

Gelombang aksi penolakan semakin massif yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat termasuk mahasiswa untuk mengadang pengesahan RKUHP Nasional.

Dalam RKUHP terdapat 632 pasal, yang kemudian menjadi perhatian publik terangkum ada kurang lebih 14 isu krusial yang mengharuskan dilakukannya kembali pembahasan secara mendalam dan terbuka oleh Pemerintah dan DPR.

Dari 14 isu krusial tersebut, yang menjadi perhatian penulis adalah mengenai isu pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal mengenai penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Wetboek van Strafrecht memang sudah ada, tetapi penghinaan terhadap Raja/Ratu Negeri di Belanda.

Tidak sampai di situ, di dalam Wetboek van Strafrecht bahkan banyak sekali pasal penghinaan yang diperuntukkan kepada keluarga atau kerabat kerajaan, gubernur atau wakil gubernur jenderal, dan sebagainya. Terlebih sampai penghinaan dengan cara sindiran juga menjadi tindak pidana.

Ketika Indonesia merdeka, melalui UU No. 1 Tahun 1946 banyak dari pasal tadi yang dihapus, namun penghinaan terhadap Raja/Ratu telah diubah menjadi penghinaan terhadap Presiden.

Tidak dapat dipungkiri bahwa selama pasal itu masih ada maka sampai kiamatpun perdebatan masih terjadi mengenai batasan kritik dan menghina.

Tidak heran jika oposisi atau masyarakat yang melakukan kritik Presiden dan Wakil Presiden dengan berbagai cara bisa menjadi pesakitan dengan dituduh melanggar pasal penghinaan Prediden dan Wakil Presiden.

Hal tersebut berpotensi menimbulkan sikap otoriter dan antikritik.

Menjadi sangat menarik mengenai perdebatan isu pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Jika diambil sisi positifnya, ruang-ruang perdebatan intelektual semakin hidup dan semarak.

Terbukti, banyak ahli hukum juga melakukan kajian dan menyuarakan pendapatnya melalui media, baik media konvensional maupun elektronik.

Perdebatan intelektual ini menjadikan sehatnya iklim akademis yang dilakukan oleh para kaum intelektual.

Hal ini bisa dijadikan contoh bahwa perdebatan atau silang pendapat dapat dilakukan dengan santun tanpa adanya cacian, hinaan, serta fitnah. Terkadang hinaan dan cacian dibungkus atas nama kebebasan berpendapat.

Bahwa hipotesis mengenai teori perjanjian tentang asal mula negara (Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau) berpangkal dari state of nature yang bagaimanapun kondusifnya suatu negara akan selalu mengandung ancaman bagi keselamatan individu atau kelompok selama tidak ada pemerintah yang menjamin keamanan dan ketertiban.

Kemudian menurut Thomas Hobbes dalam bukunya “Leviatan” menggambarkan situasi negara atau pemerintahan itu sebagai โ€œHomo homini lupus bellum omnium contra omnes” semua orang selalu dalam keadaan bermusuhan satu sama lain.

Jika kita mendengar istilah kebebasan, maka sudah barang tentu bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya, tetapi ada batasan-batasan yang harus dipedomani dalam ruang demokrasi.

Maka jika kebebasan itu dianggap tiada batasan, maka hal itu bukan kebebasan melainkan sebuah anarki.

Berdasarkan uraian diatas maka sebetulnya sangat mudah sekali untuk memberikan batasan antara kritik dan hinaan yang ditujukan oleh Presiden dan Wakil Presiden, terlebih jika ada kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, maka kritik merupakan suatu keharusan serta sebagai kontrol yang paling efektif yang dilakukan masyarakat.

RKUHP dalam hal ini diorientasikan untuk membangun keadaban sebagai nilai original dari Bangsa Indonesia.

Pencantuman pasal tersebut menarik untuk dikaji sejauh mana urgensi menghidupkan pasal yang sudah diaanggap inkonstitusional dan sejauhmana kekuatan dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam penerapannya.

Tidak dihapuskannya pasal penghinaan presiden dan atau wakil presiden tersebut memiliki maksud yang mendalam.

Tujuan singkatnya, pasal tersebut dicantumkan ke dalam RKUHP adalah untuk melindungi kepentingan perlindungan Presiden dan

Wakil Presiden sebagai representasi Bangsa Indonesia.

Pasal penghinaan Presiden tidak sama sekali bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal penghinaan yang dirumuskan dalam RKUHP merupakan pasal yang baru dan tidak sama dengan Pasal 134 KUHP.

Unsur-unsur dan jenis deliknya sama sekali tidak sama dengan Pasal 134 KUHP. Dalam konteks rancangan RKUHP, konstruksi pasal penghinaan presiden tidak menghendaki bahwa presiden dan wakil presiden itu antikritik.

Sudah jelas terdapat pada penjelasan Pasal 218 RUU KUHP bahwa kritik merupakan menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut.

Ada berbagai alasan bahwa pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden harus tetap ada, antara lain:

Pertama, presiden terpilih meskipun tidak semua memilihnya tetapi merupakan konsekuensi demokrasi yang tidak terelakkan. Sehingga ia terpilih secara demokratis, melalui prosedur yang benar (kecuali dibuktikan sebaliknya), dan oleh sebab itu ketika presiden itu terpilih maka ia harus dihormati sebagaimana kita menghormati demokrasi.

Dengan demikian tidak boleh seseorang menggunakan hak dalam demokrasi untuk menghina presiden karena presiden sendiri merupakan konsekuensi dan bagian dari demokrasi itu sendiri.

Kedua, kesucian hak moral. Hak moral merupakan keputusan otonom dalam memilih sesuatu. Ketika seseorang menggunakan hak moral dalam memilih sesuatu maka pilihan itu telah melewati suatu pertimbangan, permenungan, kehati-hatian, dan kepercayaan (baik sebagian maupun seluruhnya). Maka ketika seseorang sudah memilih seorang presiden menjadi pemimpinnya itu semua harus dihargai sebagai upaya menghargai hak moral.

Seorang pemimpin mempercayakan sesuatu kepada bawahannya itu merupakan pilihan berdasarkan hak moral.

Berbeda halnya ketika kita naik sebuah angkutan umum di mana kita seketika secara tidak sadar langsung menaikinya tanpa mempertimbangkan apakah si sopir bisa mengendarai angkutannya atau tidak. Karena kepercayaan di sini bukan kepercayaan berdasarkan hak moral, tetapi berdasarkan ketidaksadarannya. Sekali lagi, presiden merupakan pilihan hak moral kita yang harus kita hargai dan bukan kita hina.

Ketiga, dalam konteks sila Kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” secara implisit terdapat postulat umum yaitu perlakukanlah manusia sesuai dengan martabatnya.

Sila kedua berbasis kemanusiaan secara universal tetapi sekaligus pula manusia yang berbudaya dengan cara beradab. Di dalam keadaban tak pernah diizinkan saling menghina, dan tidak ada seorang pun yang boleh dihina. Menjadi bangsa yang berada berarti insyaf akan kesopanan, kelemahlembutan, saling menghargai satu dengan lainnya.

Oleh sebab itu, apabila ada orang yang tidak suka dengan presiden ada jalan yang lebih adab yaitu kritik dan masukan, daripada memilih untuk menghina.

Presiden juga punya martabat, ia adalah pemimpin, betapa pun salah kebijakannya tidak serta merta menghapus martabatnya sebagai manusia. Jalan utama dalam menghargai manusia menurut sila Kedua Pancasila adalah dengan keadilan dan keadaban, bukannya hinaan.

Keempat, RKUHP merupakan pembaharuan hukum pidana yang menyesuaikan sociokultur dan socio-filosofis orang Indonesia. Penghargaan terhadap moralitas begitu tinggi sehingga logis apabila Pasal penghinaan presiden diatur kembali di dalam RKUHP.

Tetapi tidak semua orang Indonesia mengerti apa yang harus mereka lakukan, oleh sebab itu lewat pasal penghinaan presiden diatur kembali maka secara implisit memerintahkan dan memaksa kita untuk belajar menghargai seorang pemimpin dan menegakkan keadaban.

Bukan tanpa sebab, karena orang Indonesia sudah banyak berubah dan banyak yang tidak bisa menghargai manusia maka merupakan hal yang biasa apabila pasal a quo diatur.

Inilah bentuk didikan yang sifatnya memaksa yang akan memberikan kesadaran kepada kita bagaimana cara menghargai seorang pemimpin.

Kelima, presiden di dalam konteks Indonesia bukan hanya seorang kepala pemerintahan tetapi juga kepala negara.

Apabila presiden berada di luar negeri melakukan pertemuan bilateral antar negara maka ia sedang merepresentasikan kepentingan orang Indonesia dan negara Indonesia.

Cukup tidak proporsional apabila ketika seorang presiden mewakili rakyat Indonesia melakukan pertemuan bilateral yang dari pertemuan itu ternyata rakyat Indonesia secara keseluruhan memperoleh keuntungan, tetapi apabila presiden berbuat salah kita menghinanya habis-habisan seolah tidak pernah ada kontribusi apa pun bagi negara ini.

Di negara lain presiden Indonesia diberikan perlindungan bukan hanya karena dia seorang presiden tetapi dia merupakan perwujudan representasi rakyat dan negara dalam segala kepentingannya. (*)

Titus Yoan, Alfendo Yefta dan Mariano Adhyka

Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com