JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Nasional

Penerbitan Perpu Cipta Kerja Dinilai Berpotensi Merusak Konstitusi

Massa buruh melakukan aksi bertajuk Aliansi Aksi Sejuta Buruh Cabut UU Omnibus Law Cipta Kerja di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (10/8/2022) / tempo.co
   

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Cipta Kerja dinilai berpotensi merusak konstitusi.

Penilaian itu disampaikan oleh Koordinator Indonesia Memanggil 57, Praswad Nugraha. Menurut dia, ada tiga alasan mengapa penerbitan Perpu tersebut memiliki potensi berbahaya.

Pertama, kata Praswad, penerbitan Perpu tersebut menihilkan partisipasi publik dalam negara demokrasi.

Ia menjelaskan hal tersebut didasari dari putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 yang menyebut UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional permanen apabila dalam dua tahun tidak perbaikan, karena salah satunya tidak ada partisipasi publik yang bermakna.

Baca Juga :  Hasto Sebut, untuk Bertemu Megawati, Presiden Jokowi Harus Lewat Anak Ranting

“Alih-alih melakukan penjaringan aspirasi yang mampu menjawab persoalan tersebut, malah presiden mengambil langkah buru-buru dengan menerbitkan Perpu Cipta Kerja,” kata Praswad melalui keterangan tertulis pada Minggu (1/1/2023).

Praswad juga menyebut penerbitan Perpu tersebut bagaikan kembali ke masa Orde Baru dimana kekuasaan berpusat di lembaga eksekutif.

Sebab, kata dia, pembuatan Perpu tersebut seolah mengakali putusan MK serta menyebutnya sudah tidak ada polemik lagi mengenai UU Cipta Kerja.

“Hal ini bisa berpotensi penafsiran presiden bisa mengurangi esensi pembagian kekuasaan dalam konstitusi yang secara tegas diperjuangkan pasca reformasi,” kata dia.

Baca Juga :  Sidang Sengketa  Pilpres Telah Selesai, Ini 3 Prediksi Putusan MK Versi Pakar

Terakhir, kata Praswad, penerbitan Perpu tersebut bisa jadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia. Ia menyebut penerbitan Perpu itu sama saja memutuskan upaya pengawasan publik melalui MK yang mana sebelumnya pemerintah selalu menyarankan agar melakukan gugatan ke MK apabila tidak puas dengan undang-undang yang telah diterbitkan.

“Ke depan, bisa saja ini menjadi potensi keberulangan dimana publik menang gugatan di MK. Sekali lagi kedudukan hukum sebagai panglima hanya jargon belaka,” ujar eks penyidik senior KPK tersebut.

www.tempo.co

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com