JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Nasional

Partai Buruh Anggap Pasal 88F UU Cipta Kerja Semena-mena Terhadap Buruh

Partai Buruh melakukan aksi penolakan KUHP baru usai Karnaval buruh di depan istana negara, Kamis (15/12/2022) / tempo.co
   

JAKARTA, JOGLSEMARNEWS.COM – Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menilai salah satu beleid dalam Undang-undang (UU) No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja bersifat semena-mena terhadap kaum buruh.

Karena itulah, Sid Iqbal menolak sepenuhnya isi dari UU Cipta Kerja tersebut. Salah satu beleid yang menjadi sorotannya adalah pasal 88F.

Beleid itu tertulis bahwa dalam keadaan tertentu, pemerintah dapat menentukan formula perhitungan upah minimum yang berbeda dengan formula perhitungan upah minimum yang ditetapkan.

Said menilai, pasal itu berbahaya karena pemerintah dapat sewaktu-waktu mengubah formula perhitungan upah minimum yang berbeda dari aturan yang telah ditetapkan.

“Undang-undang itu harus rigid. Dia tidak boleh ada pengecualian. Ini seenak-enaknya aja, berbahaya betul,” tuturnya dalam konferensi pers virtual pada Minggu (1/1/2023).

Jika pemerintah berdalih beleid itu ditujukan demi melindungi perusahaan yang merugi akibat kondisi ekonomi global, menurut Said, seharusnya aturannya dibuat lebih spesifik.

Baca Juga :  Ingat Bharada Richard Eliezer di Kasus Ferdy Sambo? Kini Resmi Menikah dan Pindah Agama

Sebab, tidak semua sektor dalam keadaan kritis hingga tak bisa menerapkan formula kenaikan upah sesuai aturan yang ditetapkan, seperti sektor batu bara, kelapa sawit, dan manufaktur.

Apabila ada perusahaan yang kesulitan menerapkan formula kenaikan upah yang ditetapkan, Said menyarankan agar pemerintah yang ingin menangguhkan kenaikan upah minimum membuktikan kondisi perusahaan melalui laporan pembukuan keuangan secara tertulis.

Apabila perusahaan itu terbukti merugi selama dua tahun berturut-turut, baru pemerintah dapat menyetujui penangguhan tersebut.

Adapun dalam Perpu Cipta Kerja Pasal 88D, formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan  ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

Aturan ini pun dinilai bermasalah lantaran tidak ada penjelasan soal indeks tertentu itu dan siapa pihak yang berhak menetapkan indikator tersebut maupun dasar kajiannya.

Baca Juga :  Ini Sikap Timnas AMIN Jika Gugatannya Soal Sengketa Pilpres Sampai Ditolak MK

Pasalnya, menurut Said, tidak ada variabel atau istilah indeks tertentu dalam hukum internasional ihwal penetapan upah minimum.

Dia berujar, hanya ada dua formula yang bisa digunakan pemerintah dalam menetapkan upah minimum, yaitu melalui survei kebutuhan hidup layak (standard living cost) atau melalui variabel inflasi plus pertumbuhan ekonomi.

Besaran indeks tertentu itu pun masih tidak diketauhi. Said menduga indeks tertentu ini menyerupai yang ada dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 18 tahun 2022.

Dalam aturan itu digunakan indeks sebesar 0,1 sampai 0,3 dalam penghitungan kenaikan upah minimum 2023.

Ketidakpastian itu, menurutnya menjadikan Perpu Ciptaker hanya menjadi mandat kosong kepada Kementerian Ketenagakerjaan.

“Ini hanya mau-maunya Kemenko Perekonomian nih. Kami menginginkan tidak menggunakan indikator tertentu. Cukup inflasi plus pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.

www.tempo.co

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com