Beranda Nasional Jogja Prosesi Bedah Bumi Jelang Pemakaman PB XIII di Makam Imogiri, Apa Maknanya?

Prosesi Bedah Bumi Jelang Pemakaman PB XIII di Makam Imogiri, Apa Maknanya?

makam immogiri
Tangga menuju makam Imogiri | Wikipedia

BANTUL, JOGLOSEMARNEWS.COM Prosesi pemakaman almarhum Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) XIII di Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri diawali dengan ritual sakral bedah bumi, yakni penggalian liang lahat sebagai tempat peristirahatan terakhir sang raja.

Ritual ini dilakukan oleh sejumlah abdi dalem Kasunanan Surakarta di area kedaton PB X, tepat di sebelah barat pusara PB XII, ayahanda almarhum. Sebelum penggalian dimulai, mereka menyiapkan uborampe—sesaji berupa bunga, pisang sanggan, serta perlengkapan ritual lain yang menjadi tanda permohonan izin kepada bumi agar berkenan menerima jasad sang raja.

Setelah doa bersama dipanjatkan, pintu utama makam PB X ditutup, menandai dimulainya prosesi bedah bumi sebagai langkah awal dari rangkaian upacara pemakaman Sri Susuhunan Pakubuwono XIII.

Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Joyo Adilogo, Bupati Pajimatan Makam Raja-Raja Imogiri untuk wilayah Surakarta, menjelaskan bahwa prosesi itu menjadi bagian paling penting dalam persiapan pemakaman.
“Dari pihak Keraton, yang kami siapkan di Imogiri hanya bedah bumi. Talil dan pembersihan makam dilakukan hari ini. Setelah itu tinggal menunggu kedatangan jenazah,” ujarnya.

Menurut Joyo, sekitar 30 abdi dalem akan menandu jenazah PB XIII saat tiba di kompleks makam nanti. Mereka akan membawa tandu dari area Masjid Sultan Agung menuju kedaton tempat almarhum dimakamkan.
“Mungkin bisa lebih dari tiga puluh, karena jalannya menanjak dan bertangga. Para abdi dalem ini sudah biasa melaksanakan tugas seperti ini,” tambahnya.

Pihaknya memastikan, selama prosesi berlangsung, Makam Imogiri tetap dibuka untuk umum, meski akses ke area makam PB XIII akan dibatasi demi menjaga kekhidmatan. “Masyarakat boleh hadir untuk menghormati dari area bawah, tapi belum bisa naik ke lokasi utama sampai prosesi selesai,” ujarnya.

Baca Juga :  Diduga Gegara Ngecas HP di Kasur,  Rumah Warga Tepus Gunungkidul Terbakar!

Sementara itu, Suradal, abdi dalem juru kunci dari Surakarta, menyebut liang lahat PB XIII dibuat dengan ukuran sekitar dua meter dalam, satu meter lebar, dan dua meter panjang, disesuaikan dengan peti jenazah.
“Tanah yang kami gali ini bukan sembarang tanah, karena sudah diwariskan cara dan tata lakunya turun-temurun,” katanya.

Dalam tradisi Keraton Kasunanan Surakarta, bedah bumi bukan sekadar kegiatan fisik membuka tanah. Ia merupakan ritus kosmologis dan spiritual, simbol perjalanan jiwa seorang raja menuju alam keabadian.

Bagi masyarakat Jawa, bumi adalah ibu kehidupan, tempat manusia berasal dan akan kembali (Magnis-Suseno, 1997). Karena itu, membuka bumi untuk seorang raja dimaknai sebagai pembukaan gerbang antara dunia fana dan alam kelanggengan.
“Ritual ini adalah wujud penghormatan tertinggi kepada bumi dan kepada raja yang kembali pada asalnya,” tulis Zoetmulder (1991) dalam Manunggaling Kawula Gusti.

Selain bersifat spiritual, prosesi bedah bumi juga menyimbolkan berakhirnya satu masa kekuasaan dan lahirnya era baru. Dalam kosmologi Jawa, raja bukan hanya pemimpin duniawi, tetapi juga penjaga keseimbangan antara jagad gede (alam semesta) dan jagad cilik (manusia) (Anderson, 1972). Maka, saat tanah dibuka untuk menerima jasadnya, masyarakat menafsirkan bahwa satu lingkaran kehidupan telah ditutup dengan sempurna.

Tak hanya itu, tindakan membuka bumi disertai sesaji juga mencerminkan etika ekologis Jawa — pengakuan bahwa manusia harus meminta izin kepada bumi sebelum menempatinya kembali (Geertz, 1960).
Dalam konteks ini, bedah bumi menjadi semacam dialog spiritual antara manusia dan alam, sebuah permohonan agar bumi bersedia menerima kembali raja yang selama hidupnya menjaga keseimbangan dunia.

Baca Juga :  Satu Minibus Ludes Terbakar di Girimulyo, Diduga Korsleting Setelah Bongkar Mesin

Lebih dalam lagi, ritual ini mengandung pesan universal: di hadapan bumi, semua manusia setara. Baik raja maupun rakyat, pada akhirnya akan kembali pada tanah yang sama. Filosofi ini selaras dengan pepatah Jawa, urip iku mung mampir ngombe — hidup hanyalah persinggahan sementara sebelum kembali kepada Sang Pencipta (Sujamto, 2003).

Ketika prosesi bedah bumi selesai, para abdi dalem meninggalkan liang lahat dengan khidmat. Tak ada sorak, tak ada upacara megah — hanya doa lirih yang mengiringi. Di balik kesunyian itu, tersimpan makna mendalam tentang siklus hidup, kematian, dan penyatuan kembali manusia dengan bumi — sebagaimana ajaran luhur yang diwariskan para leluhur Mataram. [*] Disarikan dari berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.