Beranda Daerah Sragen Kondisi Petani Masih Merana, Komisi B DPRD Jateng Desak Pemerintah Cabut Subdisi...

Kondisi Petani Masih Merana, Komisi B DPRD Jateng Desak Pemerintah Cabut Subdisi Pupuk. Harga Gabah Didorong Bisa Naik Jadi Rp 5.500

Mukafi Fadli. Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – DPRD Provinsi Jawa Tengah mengkritisi kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang selama ini dinilai belum banyak berpihak ke petani.

Subsidi pupuk yang dinilai carut marut, harga komoditas saat panen yang ambruk tanpa proteksi, membuat nasib petani dianggap masih jauh dari kata sejahtera.

Pemerintah melalui kementerian terkait pun diminta melakukan perubahan kebijakan soal subsidi pupuk. Yakni dengan mencabut subsidi pupuk untuk dialihkan menyerap gabah petani secara langsung.

Pendapat itu dilontarkan anggota Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah, Mukafi Fadli. Kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , legislator asal Kabupaten Sragen itu meminta Kementerian Pertanian melihat secara riil kondisi petani di lapangan.

Menurutnya saat ini, kesejahteraan bagi petani belum bisa terwujud. Guna mencapai hal itu, pihaknya mengusulkan agar subsidi pupuk untuk petani dicabut dan dialihkan untuk menyerap gabah petani secara langsung.

Subsidi pupuk carut marut dan masalahnya tidak pernah selesai, maka lebih baik dicabut saja. Nyatanya hingga kini subsidi pupuk yang diberikan kepada petani tidak berdampak pada kesejahteraan. Apalagi hasil jual panen masih rendah. Kami mengusulkan kepada pemerintah agar subsidi pupuk dicabut, kemudian Harga Pokok Penjualan (HPP) gabah kering panen naikan harganya,” paparnya Minggu (9/1/2022).

Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia, Gusrizal saat melakukan pengecekan ke gudang distribusi yang terletak di Sragen, Kamis (4/11/2021). Foto/Wardoyo

Legislator asal Fraksi PKB itu menguraikan fakta di lapangan, selama ini HPP gabah masih rendah sehingga petani tidak mendapat kesejahteraan dari hasil panennya.

Menurutnya akan lebih baik jika persoalan HPP gabah diurus oleh negara seperti halnya BBM.

“Negara harus mengambil alih urusan gabah seperti halnya BBM, dimana sekali pun di Papua bisa satu harga. Subsidi pupuk tidak meningkatkan pendapatan petani. Alangkah baiknya alokasi anggaran subsidi pupuk dicabut, kemudian dialihkan untuk menyerap gabah dari petani dengan harga Rp. 5.500,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini harga gabah petani HPP-nya Rp 4.200. Akan tetapi fakta di lapangan, saat panen tiba harga turun sampai Rp 3.200 – Rp 3.400 per kilogram.

Dengan harga seperti itu, jika dikalkulasi pendapatan para petani jika dihitung per bulan akhirnya tidak lebih dari Rp 400.000

Lilik, sapaan akrab Mukafi, menilai HPP yang ditetapkan pemerintah untuk pembelian gabah petani itu pun masih rendah dan belum sepenuhnya mengangkat petani.

Baca Juga :  Ulang Tahun Partai Nasdem Ke 13 Adakan Donor Darah Bersama di Sragen Jawa Tengah

Idealnya, HPP harusnya di atas Rp 5.000. Belum lagi jika petani gagal panen akibat cuaca, mengakibatkan kondisi petani semakin terpuruk.

“Kalau tidak ada kebijakan yang radikal, permasalahan di sektor pertanian tidak akan pernah selesai. Makanya kami mendorong Kementan untuk segera melakukan terobosan,” jelasnya.

Potret Petani Jawa Tengah

Lebih lanjut, disampaikan data petani di Jawa Tengah ada sekitar 2,9 juta dengan kepemilikan lahan petani di Jateng rata-rata 0,65 Ha.

Dari jumlah itu, setengahnya merupakan petani gurem atau sekitar 1.317.118 orang dengan rata-rata kepemilikan 0,15 Ha (1500 m2).

Produktivitas satu hektar sawah menghasilkan 6 ton gabah, kemudian terjadi penyusutan 18% maka menjadi 4,92 ton.

Ilustrasi petani tanam padi. Foto/Wardoyo

Jika luas lahan yang dimiliki petani hanya 0,20 Ha (2000 m2), maka gabah yang dihasilkan adalah 0,984 ton.

Jika harga gabah 3.400 maka pendapatannya Rp. 3.345.600, dikurangi pengeluaran Rp. 913.500, maka keutungan setiap panennya sebesar 2.432.100.

Petani di Jawa Tengah panen sekitar 4 bulan, maka penghasilan mereka dari bertani Rp. 608.025.

“Apabila dibandingkan dengan UMK Banjarnegara sebagai UMK terkecil di Jawa Tengah (Rp. 1.805.000) maka angkanya hampir 3 kali lipat lebih kecil,” ulasnya.

Naikkan HPP Gabah

Melihat kepemilikan lahan yang hanya 0,15 – 0,20 Ha, serta harga yang masih rendah. Maka sangat sulit untuk kita mewujudkan kesejahteraan bagi petani, maka perlu langkah berani dari pemerintah pusat untuk mencabut subsidi pupuk dan melakukan penyerapan gabah petani.

“Serap gabah petani sebesar Rp.5.500, maka petani yang memiliki lahan 2000 m2 dalam sebulan bisa mengantongi keuntungan sebesar Rp 1.124.625. Agar mencapai pendapatan UMK, petani bisa melakukan usaha lainnya seperti beternak dan lain sebagainya,” terangnya.

Kemudian agar negara mendapatkan pemasukan dari sektor pertanian, menurutnya negara bisa mengenakan pajak sebesar 2 % dari setiap pembelian.

Tim Bulog Sub Divre Surakarta saat melakukan pembelian gabah hasil panen petani di Gondang Sragen, Rabu (3/3/2021). Foto/Wardoyo

Namun, dengan adanya pajak ini, pemerintah perlu juga menjamin bahwa harga gabah petani Rp 5.500.

“Jawa Tengah produksi gabahnya dari 2018-2020 rata-rata 9.881.469 Ton, misalkan harga gabah Rp. 5.500 maka nilainya total Rp. 54.348.079.500. Jika dikenakan pajak 2%, maka bisa memberikan pendapatan kepada negara sebesar Rp 1.358.701.987.500,” imbuhnya.

Menurutnya, langkah mundur pertanian Indonesia dimulai sejak adanya Revolusi Hijau Indonesia. Di mana bibit impor, pupuk kimia dan pestisida mulai dipaksakan oleh pemerintah kepada petani untuk digunakan.

Baca Juga :  Dukung Program Presiden Prabowo, Kapolres Sragen AKBP Petrus Parningotan Silalahi Hadiri Peluncuran Gugus Tugas Pendukung Ketahanan Pangan di Kecamatan Ngrampal

Walau pada tahun 1990-an terjadi swasembada beras, namun hanya berlangsung sementara. Justru dampak buruknya bisa terasa hingga saat ini.

“Sawah-sawah kita sudah ketergantungan bahan-bahan kimia, hama sudah seperti virus bermutasi, berubah-ubah, kesuburan lahan pun merosot. Adanya Revolusi Hijau saat itu, merusak ekologi sekaligus menyebabkan ongkos pertanian meningkat,” ujarnya.

Lilik menyebut perlu ada upaya-upaya yang mempelopori kesejahteraan petani, jangan sampai tidak ada lagi yang mau menjadi petani. Akhirnya terjadi urbanisasi besar-besaran, karena hidup di desa tidak lagi menguntungkan.

Berbeda jika penghasilan petani ini paling tidak sama rata dengan UMK, maka tidak perlu orang-orang itu mengadu nasib ke kota-kota besar.

“Kalau pendapatan petani gurem naik, orang-orang akan kembali ke desa menggarap tanahnya sehingga akan segera tercapai swasembada yang kita cita-citakan bersama,” ucapnya.

Di bagian akhir, Lilik mengutip pesan penting soal pangan yang pernah disampaikan proklamator RI, Bung Karno.

Yakni soal pangan yang memegang peranan penting dan menjadi hidup matinya suatu bangsa.

“Soal petani ini, Bung Karno mengajarkan kepada kita semua agar benar-benar diurusi dengan benar karena menyangkut hidup dan matinya suatu bangsa. Para petani ini adalah para pahlawan pangan, mereka lambang kemandirian, berkat mereka lapangan kerja terbuka. Selain petani, nantinya ada tukang traktor, tukang giling dan lain sebagainya. Sejahteranya petani, maka terjamin pula pangan untuk bangsa Indonesia,” pungkasnya. Wardoyo