JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Opini

Tepa Selira di Dunia Maya

Hamdani MW Jurnalis dan Cerpenis
   

Dalam budaya Jawa terdapat ungkapan Kabentus Ing Tawang. Ungkapan tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini: tersandung di angkasa.

Jika dimaknai secara harafiah, hal ini merupakan sesuatu yang mustahil. Mana mungkin angkasa yang isinya udara dapat menjadi batu sandungan bagi seseorang.

Namun makna tersirat dari ungkapan tersebut adalah seseorang yang sedang mendapatkan halangan, musibah, kecelakaan atau nasib yang tidak menguntungkan dan tidak terduga sebelumnya.

Pelajaran yang diperoleh dari ungkapan tersebut adalah, seseorang tidak dapat menghindarkan diri dari takdir Tuhan. Karena itu, dibutuhkan sikap ekstra hati-hati dalam bersikap dan melangkah, agar seseorang bisa selamat (Pardi Suratno & Heniy Astiyanto, 2009).

Kali ini, saya ingin menyandingkan ungkapan Kabentus Ing Tawang tersebut secara bebas. Tawang berarti angkasa, yang jika diartikan di era milenial ini adalah dunia online atau dunia maya.

Dunia maya ibarat sebuah kebebasan. Siapapun dapat dengan mudah mengangkasa, melambungkan namanya, membuat dirinya dikenal lewat media sosial, Instgram, Facebook, WhatsApp, Twitter maupun YouTube.

Dunia awang-awang mestinya merupakan dunia yang bebas tanpa hambatan. Mau memandang ke mana saja tidak terbentur halangan. Dunia online, dunia maya, hampir semua aktivitas sekarang ini diarahkan ke dunia maya, secara online.

Orang mau terkenal sekarang lebih mudah. Tak harus tampil di televisi atau media massa. Cukup memasang foto, membuat konten kreatif yang menarik, lucu, unik lalu diupload lewat media sosial, termasuk lewat YouTube. Dari situ, orang bisa mendapat simpati, like dan pengikut setia. Bagi yang berbain di kalan YouTube, namanya bisa terkenal sebagai YouTuber.

Kini, YouTuber menjadi salah satu aktivitas yang menjanjikan pendapatan lumayan. Orang bersaing untuk membuat konten-konten kreatif demi mereguk subsciber.

Semakin banyak subscriber, peluang masuknya iklan juga semakin besar, di mana hal itu identik dengan pendapatan.

Ferdian Paleka adalah salah satu YouTuber. Dia  bermain di dunia online, bermain di dunia maya, dunia awang-awang. Donyaning tawang.

Sebagaimana yang lain, sebagai YouTuber, Ferdian Paleka pun harus bersaing membuat konten-konten kreatif untuk diupload dalam kanal YouTube miliknya.

Mestinya, Ferdian Paleka yang sudah memiliki pengikut lumayan banyak seperti melaju di jalan tol untuk mencari pendapatan iklan dari sana.

Baca Juga :  Optimalisasi Penerapan Literasi Digital pada Pendidikan Anak Usia Dini 

Namun sayang, Ferdian kabentus ing tawang. Mengalami “kecelakaan” di jalur tol yang luas. Semula ia bermaksud membuat konten YouTube yang kreatif, yang berbeda dan menarik.

Dia dan teman-temannya lalu membuat konten yakni memberikan paket bantuan kepada kaum waria atau transpuan. Namun saat paket tersebut dibuka, ternyata isinya sampah dan batu bata. Itulah konten YouTube Ferdian dkk yang dianggapnya kreatif. Prank.

Alih-alih mendapat simpati, like atau subscribe, Ferdian Paleka justru menerima banyak cercaan dari para netizen. Kontennya dianggap tidak etis, dan telah merendahkan martabat kemanusiaan.

Tidak terima dengan perlakuan tersebut, para transpuan itu pun melapor ke polisi, hingga akhirnya kasus tersebut beralih ke genggaman polisi. Masuk ke ranah hukum.

Semula, Ferdian tidak kooperatif dan sempat menjadi buron polisi. Namun akhirnya, dia berhasil ditangkap oleh aparat kepolisian saat melintas di Jalan Tol Jakarta – Merak.

Demi Konten Kreatif

Bermain di kanal YouTube, nyaris tak ada bedanya dengan dunia media massa pada umumnya. Di mana, masing-masing media berkompetisi untuk menampilkan konten kreatif demi mendapatkan simpati dan kepercayaan pembaca.

Hidup mati media memang tergantung pada pembaca (oplah). Maka tak heran, antar media terjadi adu konten kreatif, baik dalam hal kecepatan berita, kelengkapan data, kemasan, penjudulan dan masih banyak lagi unsur lainnya.

Sejalan dengan itu, jumlah pembaca (oplah) biasanya dijadikan patokan bagi calon-calon pemasang iklan. Selain dari hasil penjualan koran, iklan justru menunjang sebagian besar pendaspatan media.

Hampir sama dengan media cetak, media online pun juga sangat memperhitungkan jumlah pembaca, yang dalam media online sering disebut traffic.

Semakin bagus posisi sebuah media dalam rangking traffic-nya, semakin besar peluang untuk mendapatkan sampiran iklan.

Begitupun di media televisi, jumlah pemirsa juga menjadi acuan bagi calon-calon pemasang iklan. Di media televisi sering disebut dengan rating. Mata acara yang digemari dan ratingnya bagus, biasanya iklannya juga lebih banyak.

Dalam kanal YouTube pun demikian. Semakin banyak penggemar, pengikut, atau semakin banyak subscriber pada kanal YouTube seseorang, maka peluang untuk kecipratan iklan juga  semakin besar.

Dengan latar belakang itulah, maka tak heran para YouTuber berlomba-lomba menampilkan konten kreatif, yang ujung-ujungnya demi memperbesar peluang untuk mendapatkan iklan.

Baca Juga :  Optimalisasi Penerapan Literasi Digital pada Pendidikan Anak Usia Dini 

Atas nama “konten kreatif” inilah, terkadang para YouTuber yang kurang hati-hati, dapat tergelincir ke dalam konten yang mengandung SARA, mencemarkan nama baik orang lain dan seterusnya. Ini persis seperti yang dialami oleh Ferdian Paleka dkk.

Bebas Bertanggung Jawab

Informasi di dunia maya memang nyaris tanpa batas. Ia bisa berkelebat dalam hitungan detik menyebar ke seluruh penjuru dunia. Orang di daerah pelosok pun dapat membaca informasi yang diupload secara online dengan cepat, sepanjang akses internet mendukung.

Namun, sebebas-bebasnya dunia maya, dunia yang tidak nyata, namun bukan berarti orang bebas tanpa batas. Di sana tetap saja ada batasan, rambu-rambu dan regulasi yang mengawasi konten-konten di media online.

Pemerintah telah menelorkan Undang-undang ITE, yang menjadi rambu-rambu di lalu intas online tersebut. Sekali muncul pelanggaran, peluit dibunyikan.

Kemajuan teknologi informasi memang sangat menakjubkan dan memudahkan setiap orang untuk men-mengekspos atau men-share informasi atau konten-konten apapun.

Derap langkah dan dinamika di era milenial memang sudah  sepantasnya dipahami maupun diikuti dengan bijaksana.

Namun, semilenial apapun kecanggihan sebuah teknologi informasi, kendali tetap ada di tangan kita. Seberapa kreatif konten kita dan seberapa baik kita memegang kendali, itulah yang akan menunjukkan kualitas konten kita.

Bagaimanapun juga, bermain di dunia maya tidak hanya memainkan kreativitas otak, namun juga mengasah hati dan kepekaan. Orang harus tetap menggunakan hati. Dalam istilah Jawa, kita perlu menggunakan tepa selira, nepakke awake dhewe marang liyan.

Artinya, kita harus menggunakan sikap tenggang rasa, dan menempatkan diri pada posisi orang lain. Andai saja Ferdian Paleka menggunakan tenggang rasa dalam membuat konten YouTube–nya, mungkin dia tidak akan terbentur masalah hukum.

Hamdani MW
Jurnalis dan Cerpenis

Andai dia mau membayangkan dirinya pada posisi kaum transpuan, mungkin Ferdian tidak akan sampai hati untuk membuat prank konyol tersebut. Belajar dari kasus Ferdian, orang bisa menarik satu pesan: Bagaimanapun juga ada baiknya orang tetap menggunakan tepa selira saat berselancar di dunia maya. Tanpa harus membaca UU ITE, jika orang mau menggunakan tepa selira, tenggang rasa, tentu dia akan selamat. (*)

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com