JOGLOSEMARNEWS.COM Daerah Sragen

Ini Sosok Nano Widyanto, Kadus di Sragen yang Jadi Sorotan Karena Nekat Sobek Sertifikat Tanah Warisan Warga. Padahal Hendak Dijual untuk Makam Muslim

Kadus Katelan, Nano Widyanto saat hadir dalam mediasi soal Penyobekan sertifikat tanah warisan di balai desa setempat. Foto/Wardoyo
ย ย ย 

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Nama Kadus Desa Katelan, Kecamatan Tangen, Nano Widyanto belakangan mencuat dan menjadi perbincangan.

Itu tak lepas dari aksi nekatnya menyobek sertifikat tanah tanah pekarangan milik kakeknya, alm Suto.

Sertifikat tanah pekarangan seluas 3.240 M2 di Dukuh Gilis, Katelan yang oleh ahli waris hendak dijual untuk makam muslim dan sudah di-DP Rp 10 juta itu disobek menjadi dua bagian.

Celakanya, ahli waris tidak terima dan melaporkan kasus penyobekan sertifikat tanah itu ke Polres Sragen. Sempat tarik ulur dan mediasi, namun hingga kini kasus itu tak kunjung selesai namun justru makin meruncing.

Lantas siapa sosok Nano Widyanto sebenarnya. Nano diketahui adalah perangkat desa Katelan yang menjabat sebagai Kadus di wilayah Gilis.

Nano sebenarnya masih cucu dari alm Suto, pemilik tanah pekarangan yang sertifikatnya disobek. Nano adalah anak dari Sukiyem, satu dari 9 anak alm Suto.

“Saya merasa sudah beli. Saya keluar uang. Saya menyobek itu bukan atas kemauan saya, tapi atas kemauan Mbah Ni (Suharni- bibinya) dan Joko (sepupunya). Ada fotonya, ada video dan ada rekamannya. Ada saksi-saksinya juga,” kata Nano kepada JOGLOSEMARNEWS.COM saat hadir di mediasi dengan perwakilan ahli waris di Balai Desa Katelan, Kamis (17/3/2022).

Nano tidak menampik dirinya memang menyobek sertifikat tanah kakeknya itu.
Penyobekan dilakukan di rumahnya.

Awalnya ia didatangi oleh bibinya, Suharni dan Joko, pamannya Suwarno Notil, dan beberapa ahli waris yang meminta sertifikat tanah itu.

Karena merasa punya hak, Nano tak menyerahkan. Sempat terjadi adu mulut dan saling argumen, hingga kemudian dia sobek sertifikat itu menjadi dua.

“Saya melakukan penyobekan atas permintaan Joko dan ibunya. Waktu itu dia bilang nak memang Mbokku yo tuku, kowe yo tuku, sertifikate mbokku ndi, suweken dari loro. (Kalau memang ibuku ya beli, kamu ya beli, sertifikat ibuku mana. Sobeklah jadi dua),” ujar Nano.

Nano kemudian mengatakan ia mengaku memang merasa sudah mengeluarkan uang Rp 30 juta. Seingatnya uang itu diserahkan 3 kali dan dua di antaranya ke bibinya, Suharni.

Namun ia tidak menampik memang saat itu tidak ada kuitansi atau bukti penyerahan uang. Akan tetapi ia mengklaim ada saksi-saksi yang melihat penyerahan uang.

Nano juga mengaku saat ribut-ribut penyobekan sertifikat itu, ia sempat dicekik oleh Joko dan didorong sampai ke pagar. Kasus itu sudah ia laporkan di Polsek dan berakhir damai.

Baca Juga :  Geger Warga Sragen Beli Mobil Baru Isi Bahan Bakar Dexlite di SPBU Jetak Sidoharjo Sragen Mesin Langsung Rusak, Komsumen Curigai Jual Dexlite Tidak Asli

Perihal bukti kuitansi kalau dirinya sudah membeli dan bukti kepemilikan yang selama ini ditanyakan ahli waris, Nano mengakui tidak punya.

“Buktinya sewaktu simbah saya sakit perlu biaya. Waktu itu aset dari Simbah say tinggal tanah itu. Waktu itu bilangnya yang ditoroki tinggal bagiannya Suharni dan Sukiyem (ibunya). Sebelum saya beli tanah itu, saya kumpulkan semua ahli waris. Tiga kali rapat keluarga, semua ahli waris datang kecuali Warno. Rp 30 juta tiga kali pembayaran. Ada saksinya,” kata dia.

Kadus Katelan, Nano Widyanto saat menyampaikan jawaban kepada salah satu ahli waris yang juga bibinya, Suharni. Foto/Wardoyo

Ia kembali bersikukuh bahwa dirinya melakukan penyobekan karena merasa dalam tekanan dan ancaman.

“Saya menuruti apa yang Mas Joko dan mboke minta. Saya melakukan pengrusakan, penyobekan dan penggelapan saya tahu. Tapi kalau saya nggak lakukan itu, mungkin saya juga diancam terus dan ditekan,” katanya.

Terkait laporan ahli waris ke Polres soal penyobekan, Nano mengaku sudah siap menghadapi. Ia juga tidak keberatan dan akan kooperatif jika dipanggil oleh polisi.

“Saya sampaikan kronologi biar jelas. Kalau akan laporkan saya, ya biar dilaporkan. Sebagai warga negara baik kalau ada panggilan, saya siap menjalani aduan,” imbuhnya.

Saling Membantahย 

Sementara, Suharni membantah menerima uang pembayaran dari Nano. Saat mediasi di depan Kades, ia balik mengatakan bahwa justru Kadus Nano yang banyak memutarbalikkan fakta dan mempermainkan orang tua.

Kowe wis nggaek-ngaekkne wong tuwo. Nang kepolisian omonganmu malik kabeh,” ujarnya.

Sedang Joko, anak Suharni, menyebut sepengetahuannya neneknya tidak pernah dirawat di rumah sakit. Karena sejak sakit sampai meninggal dirawat di rumah.

Sehingga ia menilai apa yang disampaikan Nano hanya alibi semata. Sementara, Suwarno juga menyangsikan klaim soal wasiat nenek soal warisan yang diminta dibeli oleh Nano.

Ia juga meragukan pengakuan Nano soal biaya sewaktu neneknya sakit. Termasuk soal pembayaran Rp 30 juta, seingatnya tidak pernah ada ahli waris yang menerima dan mengetahui.

“Memang dulu dia mau beli, disuruh Rp 80 juta, dia hanya berani Rp 60 juta. Lalu sertifikat dibawa ibunya, waktu kita minta katanya dibawa Nano, malah kemudian disobek jadi dua. Kalau memang dia mbeli, buktinya, kuitansinya juga nggak ada. Dari 9 ahli waris, tidak ada yang memberi persetujuan dan nggak ada yang tandatangan. Apa itu sah?” ujar Suwarno.

Baca Juga :  Dagang Ciu di Bulan Ramadhan, Warga Sambungmacan, Sragen Dirazia Polisi, 3 Botol Miras Disita

Karena tidak ada itikad baik menyelesaikan secara kekeluargaan, Suwarno dan Joko berniat melaporkan kembali kasus itu ke Polres Sragen.

“Karena tidak selesai, kami akan lapor ke ranah hukum lagi. Karena dulu saat mediasi di Polres, dia minta laporan dicabut katanya sertifikatnya mau dikasih, tapi ini malah dipersulit sertifikat nggak diberikan,” imbuh Joko yang juga anggota Polsek tersebut.

Mediasi Buntuย 

Sementara, Kades Kunto Cahyono sempat menyarankan agar persoalan itu sebaiknya diselesaikan dengan damai dan kekeluargaan.

Sebab bagaimanapun semua masih berkerabat sehingga akan lebih baik dirembug bersama bagaimana baiknya.

Soal klaim Kasus merasa memiliki hak karena sudah merasa membayar, Kades menyebut dalam hukum jual-beli tanah, bukti kuitansi atau surat jual beli menjadi mutlak.

Jika tanpa ada kuitansi, apalagi ahli waris belum tandatangan semua, maka proses itu juga tidak akan sah.

“Karena yang namanya membeli warisan, sepakat tidak ada persetujuan ahli waris, nggak akan bisa. Karena sertifikat itu masih atas nama Mbah Suto. Makanya karena ini masih saudara semua, silakan dirembug baik-baik. Kalau Pak Bayan merasa sudah membiayai Mbah Setu waktu di rumah sakit, ya habisnya berapa silakan dirembug. Kalau sudah proses hukum, pasti ada yang kalah dan hubungan saudara akan putus,” ujarnya.

Meski sudah diberi saran, Kadus tetap bersikukuh pada pendiriannya. Meski tidak ada bukti kuitansi dan surat jual-beli, menurutnya tidak masalah karena dia merasa ada saksi dan kronologinya.

“Kalau nggak bisa selesai (dibalik nama) ya saya nggak masalah. Gak jadi sertifikat pun nggak masalah. Memang waktu itu saya tahu nggak ada buktinya, aku mengakui aku salah. Tapi saya merasa beli, saya sama-sama kuat karena saya keluar uang. Sah tidaknya saya enggak tahu,” ujarnya di hadapan Kades dan paman-pamannya.

Karena tidak ada titik temu, mediasi itu akhirnya bubar dengan saling memendam kekecewaan. Joko, Suwarso dan Suharni pulang dengan bersikukuh akan menempuh jalur hukum kembali.

Sedang Kadus Nano mengaku siap meladeni karena merasa punya hak dan tidak akan merelakan tanah itu dijual oleh ahli waris. Wardoyo

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com