JOGLOSEMARNEWS.COM KOLOM

PUNJUNGAN

Khafid Sirotudin. Foto:dok
   

 

Oleh : Khafid Sirotudin*

Dalam budaya Jawa dikenal istilah ‘punjungan’. Yaitu memberikan makanan beserta lauk pauk siap santap kepada keluarga, sanak kerabat, tetangga dan orang yang dituakan/dihormati. Budaya punjungan biasa diberikan seseorang sebelum atau dalam rangka melaksanakan hajatan.

Seperti pernikahan, khitanan, tasyakuran maupun kegiatan hajatan lainnya. Di beberapa daerah punjungan dikenal juga dengan nasi berkat, sego (Jawa : nasi) slametan, nasi kenduri, sego brokohan dan sego bancakan.

Hingga kini kami belum menemukan dokumen sejarah shahih sejak kapan budaya punjungan ini dimulai. Yang kami lihat, saksikan dan ikuti tradisi ini sudah ada sejak kami kecil, 50 tahun lalu. Kami hanya menduga budaya punjungan berkaitan dengan dakwah Walisongo di tanah Jawa.

Para pendakwah di tanah Jawa tersebut melakukan dakwah kultural, dengan mengubah ‘sesajen’ kepada Dewa menjadi “sajian” (Jawa : punjungan) kepada sesama.

Sebab Walisongo berdakwah di tanah Jawa selalu mengkaitkan dengan tradisi yang sudah tumbuh dan mengakar di masyarakat, yaitu budaya pangan dan seni. Dua pendekatan dakwah (dakwah kultural) yang konsisten dilaksanakan oleh para Wali dan sukses menjadikan masyarakat Jawa mayoritas memeluk agama Islam.

 

Punjungan ramadhan

Di daerah kami tinggal, Weleri Kendal, punjungan juga dikaitkan dengan momentum ibadah puasa Ramadhan. Punjungan biasanya berupa lontong, opor ayam, sambal goreng, mangut ikan laut maupun lauk pauk lainnya.

Biasanya punjungan dilakukan mulai hari ke-21 ramadhan dan dibagikan pada sore hari. Agar lauk-pauk yang diberikan bisa dinikmati pada saat buka puasa. Seiring menyongsong datangnya lailatul qadar (malam kemuliaan) di malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Sebagaimana ajaran yang sering disampaikan para kyai, ustad dan mubaligh di masjid dan mushola bahwa seseorang yang memberikan makanan dan minuman kepada orang yang puasa, maka akan mendapat pahala seperti orang yang berpuasa. “Ngalap ganjaran” (mencari pahala) dari orang yang melaksanakan puasa ramadhan.

Apalagi sedekah di bulan Ramadhan pahalanya akan berlipat ganda. Semakin banyak punjungan yang bisa diberikan kepada banyak orang yang berpuasa, maka akan semakin banyak pahala yang diperoleh dari orang yang mendapat punjungan kita.

Keyakinan beramal shalih melalui sedekah pangan (makanan minuman) di bulan suci ini yang mendasari maraknya umat Islam berlomba-lomba memberikan makanan takjil di masjid dan mushola di posok negeri.

Di masjid An-nur Weleri tempat kami paling sering melaksanakan shalat maghrib berjamaah, selama bulan puasa menyediakan 200-250 porsi makanan (snack dan makan besar) bagi jamaah yang berbuka puasa di masjid. Dana yang terkumpul dari umat, khusus untuk menjalankan program itu sebesar Rp 100 juta lebih sedikit. Belum termasuk donasi kudapan berupa kurma, buah dan air minum dalam berbagai kemasan.

Dalam perkembangannya punjungan ramadhan ada yang mengalami perubahan bentuk menjadi buka bersama (bukber). Di berbagai laman sosmed kita bisa lihat berbagai bukber yang diadakan oleh beragam kalangan, komunitas, perusahaan, instansi bahkan partai politik.

Sebagian  melaksanakan di kantor, panti asuhan atau restoran. Ada juga sebagian kalangan yang membagikan mamin takjil di pinggir jalan bagi masyarakat yang kebetulan melintas dalam perjalanan pulang dari kantor atau melewati jalan itu menuju pulang ke rumah.

Menariknya budaya bukber tidak hanya dilakukan oleh kalangan muslim saja. Tapi juga dilaksanakan oleh saudara sebangsa yang non muslim sebagai bentuk penghormatan atau menjamu teman sejawat yang sedang menjalankan puasa ramadhan.

Kami sendiri sering diundang oleh kolega non muslim untuk mengikuti bukber. Bukber terakhir ramadhan tahun ini, kami diundang oleh Pengurus PA GMNI Jawa Tengah di Semarang.

Acara bukber lazimnya dimulai 1-1,5 jam sebelum waktu buka puasa tiba. Sambil menunggu waktu adzan maghrib tiba, acara biasa diisi dengan seremonial sekedarnya dan mauidhah hasanah (pengajian pengantar buka) serta doa bersama. Sebuah budaya masyarakat Indonesia yang menggembirakan semua kalangan.

Jika bukber diadakan pada pekan terakhir ramadhan, tidak jarang sekalian dilanjutkan dengan pemberian santunan dan bingkisan lebaran.

 

Punjungan Lebaran

Pada momen menjelang hari raya Idul Fitri atau pekan terakhir ramadhan, punjungan biasanya berupa kupat dan “lepet” beserta lauk pauk opor ayam/bebek/mentok/telur. Kupat berbahan dasar beras yang dinanak didalam kotak terbuat dari ‘janur’ (daun muda) tanaman kelapa yang dianam membentuk kubus segi empat. Sedangkan “lepet” berbahan baku ketan, dibuat dari selembar janur yang ditemali dengan “utas” (tali) dari bambu.

Jika kupat sudah menjadi budaya pangan nasional, namun untuk lepet masih lokal kedaerahan. Nyonya kami yang berasal dari Yogyakarta dahulu tidak mengenal budaya lepet sebelum menjadi istri kami.  Sependek pengetahuan kami lepet itu tradisi muslim pantura Jawa.

Kupat dan lepet melambangkan ‘lepat’ dan ‘luput’ (Jawa : salah dan khilaf). Dengan memberi punjungan tersebut mengandung makna saling memaafkan kesalahan dan kekhilafan diantara mereka.

Ketan adalah salah satu bahan pangan pokok yang sangat melekat dengan budaya pangan masyarakat Jawa. Beras ketan jika ditanak akan mengeluarkan semacam lem (Jawa : lengket) yang merekatkan butiran beras ketan. Orang Jawa meyakini dengan memberi punjungan makanan berbahan baku ketan akan mempererat/merekatkan hubungan silaturahim antara yang memberi dengan yang diberi (penerima).

Maka kita bisa saksikan dan amati mengapa dalam budaya pangan masyarakat Jawa terdapat beragam kudapan berbahan baku ketan dengan aneka bantuk dan nama. Ada gemblong, lemper, wingko, wajik, klepon dan jenang yang semua berbahan baku ketan. Sebelum prosesi pernikahan, punjungan kepada  ‘keluarga calon besan’ pada saat proses melamar perkawinan, makanan berbahan baku ketan “hukumnya wajib” ada.

 

Parcel Idul Fitri

Kami sekeluarga biasa memberi dan menerima punjungan/parcel dari berbagai kalangan. Terutama kepada keluarga, sanak famili, tetangga yang tempat tinggalnya dekat dengan rumah kami. Ada juga punjungan ‘zaman now’ yang lazim disebut sebagai parcel lebaran.

Sebagai bagian dari warga masyarakat yang tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi Jawa dan Islam, kamipun menikmati budaya baru parcel lebaran dengan wajar.

Jika dahulu punjungan lebih banyak berupa makanan siap saji, sekarang berganti dengan aneka bahan pangan instan dalam kemasan. Sirup, roti kaleng, sarden, gula pasir, kecap, saus, permen, minyak goreng dan peralatan makan minum. Ada pula aneka makanan dalam kaleng dan mempunyai masa kedaluwarsa yang relatif panjang : rendang, gudeg, nasi goreng, megono dan rawon.

Jika dulu punjungan (parcel lebaran) seringnya diantar sendiri, sekarang semakin banyak yang menggunakan jasa kurir berbagai perusahaan. Budaya punjungan bisa berubah seiring perkembangan jaman. Tetapi substansi nilai berbagi, sedekah, silaturahim dan gotong royong tidak akan pernah berubah. Sungguh nikmat manakah lagi sebagai umat muslim Indonesia yang hendak kita dustakan.

Ramadhan tahun ini kami mendapatkan punjungan yang sangat luar biasa. Berupa kerupuk rambak kulit kerbau khas Kendal satu pak besar dan “intip” mentah satu tas plastik.

Ketika kami tanyakan kepada mbak ART yang kerja di rumah, punjungan dari siapa? Dia jawab tidak tahu. Hanya bilang dari dua orang bapak ibu berboncengan sepeda motor dan tidak menyebutkan nama serta alamat. Sebab pada punjungan itu tidak tertera kartu ucapan atau sekedar kertas tulisan nama pemberi.

Mengapa kami menganggap istimewa, karena baru kali ini kami menerima punjungan berupa intip (nasi liwet yang mengeras dan menempel di kendil) mentah. Kami yakin pemberi parcel tahu betul bahwa intip goreng adalah kudapan kegemaran kami sekeluarga.

Maturnuwun mas dan mbakyu yang telah mengirim parcel lebaran  istimewa tahun ini. Hingga tulisan ini dibuat kami belum tahu siapa sebenarnya kedua orang baik itu. Semoga Allah melimpahkan rejeki kepada semua ahli sedekah punjungan kepada sesama.

Selamat idul fitri 1443-H/2022-M. Mohon maaf lahir dan batin. Teriring doa dan harapan semoga kita semua tergolong menjadi insan yang bertaqwa. Yaitu manusia yang Tawadhu’ (rendah hati/tidak sombong/ojo dumeh), Qonaah (rela hati/merasa cukup/prasojo) dan Wara’ (hati-hati/prayitno).

Wallahu’alam

 

*Penulis adalah Pemerhati Pangan, Ketua LHKP PWM Jateng

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com