JOGLOSEMARNEWS.COM Nasional Jogja

Polemik Sultan HB X dan 2 Adik Tiri, Pengamat: Bisa Rugikan Keraton Yogyakarta

Raja Keraton yang juga Gubernur DIY Sri Sultan HB X (baju kotak-kotak) menyatakan Keraton Yogya bersih dari potensi virus corona saat kunjungan Raja Belanda pada Rabu (11/3) lalu. TEMPO/Pribadi Wicaksono
   

YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Polemik yang terjadi antara Sri Sultan HB X dengan dua adik tirinya, jika berkepanjangan, dikhawatirkan bisa merugikan Keraton Yogyakarta secara keseluruhan.

Hal itu diungkapkan oleh Pengajar Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Bayu Dardias Kurnia.

Dua adik tiri Sultan HB X, yakni Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat marah dan kecewa ketika dicopot dari jabatan struktural Keraton Yogyakarta. Mereka merasa disingkirkan dari keraton.

Keduanya menilai pemecatan itu buntut dari ketidaksetujuan mereka atas Sabda Raja HB X pada 2015 silam. Yang salah satu poinnya memuat isu suksesi serta membuka peluang kalangan perempuan menjadi raja.

Bayu mengingatkan sejarah suksesi di Keraton Yogyakarta, selama ini selalu melibatkan pihak ketiga. Dalam arti, penunjukkan raja yang terjadi sejak masa HB I, selalu atas persetujuan dari pemerintah atau penguasa saat itu khususnya pemerintah Belanda.

“Keraton tidak punya tradisi menentukan sendiri rajanya. Semua atas persetujuan Belanda, sebagai pihak ketiga,” ujarnya Sabtu (23/1/2021).

Bayu menilai sebenarnya tak masalah intervensi penguasa dalam suksesi internal Keraton itu. Jika demi kepentingan lebih luas. Yakni menjaga simbol kebudayaan dan identitas masyarakat Jawa yang tersisa itu tetap utuh.

Baca Juga :  Leptospirosis Tewaskan 1 Warga di Sleman, 8 Lainnya Terpapar

Ia pun membandingkan dengan konflik tajam yang sempat melanda Keraton Surakarta yang ujung-ujungnya melibatkan pemerintah dan aparat keamanan juga.

Ketika internal keraton main sekat akses dan polisi tentara sampai ikut turun dalam pengamanan.

“Keraton Yogya saat ini menjadi satu satunya identitas bagi masyarakat Jawa setelah kemerdekaan,” ujarnya.

Jika Keraton Yogya sebagai identitas Jawa yang tersisa itu ikut bermasalah dan sampai pecah gara gara suksesi yang tak mulus, Bayu khawatir muncul konflik panjang.

“Dan hancurnya identitas itu artinya sudah menjadi masalah bangsa,” ujarnya.

Sejak Sabda Raja muncul tahun 2015 silam dan sejumlah putra putri HB IX menentang HB X, kata Bayu, sebagian besar tugas departemen Keraton memang sudah perlahan diambilalih dan dikerjakan putri-putri Sultan HB X.

Khususnya di dua jabatan struktural yang awalnya diampu Prabukusumo dan Yudhaningrat yakni sebagai Penggedhe Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Parwa Budaya dan KHP Nitya Budaya.

Baca Juga :  Majelis Pekerja Buruh Indonesia DIY: Perusahaan Tak Bayar THR Pasti Kami Laporkan

Baru per 2 Desember 2020, Sultan menegaskan secara resmi melalui surat bahwa putri sulung dan bungsunya GKR Mangkubumi dan GKR Bendara tak menjadi wakil pamannya di dua departenen Keraton itu. Tapi menjadi kepala dari Parwa Budaya dan Nitya Budaya.

“Jadi GKR Mangkubumi dan Bendara yang awalnya jadi wakilnya Prabukusumo dan Yudhaningrat itu sebenarnya tiga empat tahun ini secara de facto sudah mengerjakan tugas-tugas pamannya,” ujarnya.

Tak hanya tugas tugas dalam Keraton yang diambil alih putri HB X pasca Sabda Raja. Bayu juga melihat dalam prosesi ritual Kraton di luar istana seperti Grebeg atau Maulud pasca Sabda Raja Sultan HB X, peran-peran simbolik para adik tiri Sultan HB X juga kian tenggelam.

Misalnya saat ritual pembagian udik-udik atau uang logam yang disebarkan ke masyarakat saat upacara adat Keraton.

Prosesi udik-udik tahun 2016-2017 itu bukan lagi dilakukan adik Sultan seperti Yudhaningrat ke masyarakat tapi digantikan oleh putri Sultan HB X.

www.tempo.co

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com