SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sri Lestari (50) mengiris tipis-tipis ketupat yang disusun di atas pincuk. Lalu ia menyiramkan saus wijen bercampur kelapa di atasnya.
Cabuk rambak, begitulah masyarakat Solo menyebut makanan yang satu ini.
Cabuk rambak adalah makanan khas Solo yang berisi ketupat, saus wijen dan kerupuk karak. Saus wijen yang digunakan telah dicampur dengan beberapa bumbu dan kelapa.
Wijen yang disangrai, kelapa yang di goreng, serta tambahan bumbu lain seperti bawang, kemiri, potongan daun jeruk, kencur, gula jawa, garam dan micin ini merupakan bahan-bahan saus yang khas pada cabuk rambak.
Sri Lestari, atau yang kerap di sapa Lestari ini, merupakan salah satu penjual cabuk rambak yang berlokasi di Jalan Depok Manahan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta.
Terhitung sudah 15 tahun Lestari menjajakan cabuk rambak buatannya. Ia menuturkan, pada zaman dulu, cabuk rambak hanya dibuat oleh orang-orang dari kalangan Keraton.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kuliner cabuk rambak semakin menyebar ke mana-mana, sehingga dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
“Iya makanan khas Solo. Dari zaman dulu sudah ada. Tapi yang bikin cuma orang-orang Keraton. Lambat laun akhirnya menyebar ke semua kalangan masyarakat,” terang Lestari kepada JOGLOSEMARNEWS Jumat (12/2/2021).
Dinamakan cabuk rambak, karena pada awal mulanya cabuk rambak dihidangkan dengan kerupuk rambak. Namun kerupuk rambak dinilai mahal harganya.
Oleh sebab itu, penjual mengganti kerupuk rambak dengan kerupuk karak yang terbuat dari nasi kering sehingga harganya lebih murah.
“Karena mahal, rambak sekarang diganti karak yang harganya murah. Kan sekarang rambak kulit mahal,” papar Lestari.
Lestari menceritakan, bahwa saus yang disajikan dalam cabuk rambak tidak terdapat campuran kacang sedikitpun, hanya murni wijen dan kelapa.

Selain itu, ketupat yang ia gunakan bukan sembarangan. Ketupat yang ia sajikan merupakan ketupat yang dibuat dari dua janur yang digabungkan menjadi satu.
Isiannya pun murni hanya beras. Kemudian, ketupat tersebut dimasak selama enam jam sembari dibolak-balik.
Barulah ketupat ditiriskan dengan cara digantung.
“Itu bikin ketupat pakai dua janur jadinya seperti tu. Terus isinya cuma beras yang direbus enam jam,” jelas Lestari.
Dengan pembuatan seperti itu, menurut Lestari, satu ketupat dapat menghasilkan enam pincuk cabuk rambak.
Satu pincuk cabuk rambah dijual dengan harga Rp 6.000. Cabuk Rambak sering dicari masyarakat ketika musim lebaran.
Lestari mengaku, sebelum adanya pandemi Covid-19, setiap lebaran datang ia dapat menjual 10 ketupat dalam satu hari. Sedangkan pada masa pandemic, ia hanya dapat menghabiskan 1-3 ketupat setiap harinya.
Lestari mulai berjualan mulai pukul 11.00 hingga pukul 14.00 WIB. Selain cabuk rambak ia juga menjual beberapa makanan khas Solo, yaitu nasi liwet dan pecel ndesa. Tiga kuliner tersebut kerap diburu saat lebaran tiba.
“Kalau lebaran itu banyak yang cari. Pertama cabuk rambak, dua nasi liwet, tiga pecel ndesa. Tiga jenis makanan itu harus ada,” ujar Lestari. Lulun Safira
- Kontak Informasi Joglosemar News :
- Redaksi : [email protected]
- Promosi : [email protected]
- Kontak : [email protected]