JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Nasional

Perang Sarung dan  Tarung Sarung

Para siswa SMK yang kedapatan hendak melakukan perang sarung diberi pemninaan / Foto: Beni Indra
   

JOGLOSEMARNEWS.COM Belakangan ini, utamanya selama bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah, justru marak diwarnai dengan adegan Perang Sarung.

Sesuai dengan namanya, Perang Sarung dilakukan oleh anak-anak muda, bocah hingga remaja yang bertengkar dengan menggunakan senjata sarung.

Sarung tersebut digulung dan ujungnya ditalikan hingga membentuk bundelan. Sarung yang ujungnya sudah jadi bundelan kemudian diputar-putar sebagi senjata.

Namun belakangan, ada yang diam-diam mengisi bundelan itu dengan batu,  sehingga membahayakan lawan ketika digunakan untuk  memukul.  Wajah atau tubuh bisa luka-luka jika sampai terkena sabetan sarung berisi batu tersebut.

Seperti fenomena lato-lato, perang sarung itu pun sepertinya dengan cepat mewabah di kota-kota atau desa-desa di Indonesia, termasuk di wilayah Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah, khususnya Solo Raya.

Yang semula hanya sebuah permainan, namun lama-kelamaan menjurus pada tindak kenakalan anak-anak dan remaja. Namun jika tak di antisipasi, terbuka kemungkinan Perang Sarung ini mengarah ke ranah kriminal.

Beberapa hari belakangan ini, hampir secara beruntun, aparat kepolisian di wilayah Kabupaten Bantul, Sleman, Yogyakarta, Gunungkidul di Provinsi DIY dan aparat kepolisian di Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo dan Wonogiri di Provinsi Jateng menindak para pelaku Perang Sarung, yang kebanyakan adalah anak-anak muda.

Bocah-bocah yang kebetulan diamankan, memang tidak dikenakan pasal-pasal tentang kejahatan, selain  hanya diberi pembinaan. Orangtua mereka dipanggil ke kepolisian dan diberi pengarahan bersama anak-anak mereka.

Fenomena Perang Sarung ini  bukan kejadian pertama kali, namun sudah berulang hampir setiap tahun, dan uniknya terjadi selama bulan ramadan.

Mengapa hal ini bisa terjadi, dan bagaimana sebenarnya sejarah Perang Sarung itu sendiri?

Satu Benda Beda Makna

Jika dirunut ke belakang, sebenarnya cukup sulit untuk menemukan sejarah Perang Sarung ini.  Jika kita menggunakan mesin pencari untuk menelusuri sejarah Perang Sarung, kebanyakan yang muncul adalah istilah Tarung Sarung.

Adapun mengenai sejarah Tarung Sarung itu sendiri, konon berawal dari tradisi dan kebudayaan Suku Bugis di Sulawesi Selatan.

Baca Juga :  Di MK Banjir Amicus Curiae, di Kawasan Patung Kuda Banjir Massa Berunjuk Rasa, Kubu Prabowo-Gibran Batalkan Aksi

Suku Bugis yang sebagian besar terletak di Sulawesi Selatan memiliki keunikan tersendiri dalam adat dan budayanya, termasuk Tarung Sarung tersebut.

Tarung Sarung atau dalam istilah asalnya  Sijagang Laleng Lipa, adalah sebuah cara atau solusi terakhir bagi masyarakat Bugis untuk menyelesaikan konflik antara kedua belah pihak, ketika musyawarah telah menemui jalan buntu.

Sebagai sebuah solusi terakhir, Tarung Sarung dilakukan secara resmi dan dengan konsekuensi masing-masing pihak tidak boleh kembali mendendam usai pertarungan tersebut selesai.

Ritual itu dilakukan dengan menyatukan dua pria di dalam sebuah sarung. Kedua pria yang menjadi wakil dari pihak-pihak yang berkonflik, akan saling bertarung dan adu kekuatan hingga keduanya sama-sama mati atau sama-sama hidup. Jarang dalam ritual ini pihak yang mati atau hidup sendirian.

Ritual Sijagang Laleng Lipa mulai dilakukan pada masa Kerajaan Bugis ratusan tahun silam. Di masa lalu, jika ada dua keluarga yang berseteru dan tak ada penyelesaian, maka jaan terakhirnya adalah adu kekuatan dengan cara ini.

Sijagang Laleng Lipa dilakukan sebagai jalan terakhir setelah mufakat menemui jalan buntu. Dengan melakukan ini, kedua belah pihak tidak akan ada dendam lagi.

Apa pun yang terjadi pada ritual ini, kedua belah pihak harus sama-sama lapang dada. Tidak ada lagi perseteruan  yang menyebabkan keributan di mana-mana setelah dilakukannya ritual tersebut.

Ritual Sijagang Laleng Lipa tidak dilakukan begitu saja tanpa adanya sebuah ritual dan kesepakatan antara dua belah pihak. Setiap keluarga yang saling berseteru akan memilih satu pria terbaiknya.

Pria-pria ini adalah jagoan dari keluarga yang akan mengerahkan semua kekuatannya tanpa berniat untuk menyerah.

Seorang sosiolog dari Universitas Padjajaran (Unpad), Nunung Nurwati pernah menjelaskan bahwa Tarung Sarung sebetulnya merupakan warisan tradisi dari Suku Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan.

Tradisi itu memang sudah mulai ditinggalkan di tempat asalnya, namun kini malah dikonotasikan negatif di kalangan anak muda dengan bentuk kegiatan ekstrem yang justru meresahkan masyarakat.

Baca Juga :  KPU RI Diminta Tunda Penetapan Prabowo-Gibran! Tim Hukum PDIP Klaim Gugatannya Diterima PTUN untuk Disidangkan

Perang atau Tarung

Dalam tradisi masyarakat Bugis, Tarung Sarung dilakukan oleh dua orang, tidak lebih. Dua orang yang masih dalam satu lingkaran sarung, kemudian bertarung sampai akhir.

Sarung, dalam hal ini digunakan sebagai pembatas bagi dua orang yang bertarung. Orang yang diutus untuk menjadi wakil dalam Tarung Sarung ini, tentu merupakan orang yang benar-benar pilihan, baik secara fisik, kecerdasan maupun secara mental.

Ia tak mungkin lari sebagaimana petinju di atas ring, yang bisa berputar-putar untuk menghindar. Dalam Tarung Sarung ini, yang ada adalah menyerang atau bertahan. Tak mungkin lari atau menghindar,  sehingga laki-laki yang maju dalam Tarung Sarung akan  bertaruh dengan segala ilmu dan kekuatan yang dimiliki.

Penelusuran di ensiklopedia bebas menunjukkan, istilah Tarung bisa mengacu kepada kata kerja: bertarung, kata kerja dalam bahasa Indonesia yang artinya berantuk; berlanggaran atau berbenturan.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut, namun jika diartikan secara bebas, pertarungan ini cenderung dilakukan oleh dua orang. Dalam konteks secara umum adalah dua benda (orang) yang beradu atau berbenturan.

Sementara istilah Perang, dari ensiklopedia bebas diartikan sebagai sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.

Dari sini terlihat, bahwa perang bukan hanya dilakukan oleh dua individu, namun oleh dua kelompok massa yang berbenturan.

Mengacu pada makna tersebut, sebenarnya Perang Sarung yang terjadi di kalangan anak-anak muda belakangan ini, tidak dapat dikatakan “berakar dari sejarah Tarung Sarung” masyarakat Bugis.

Dengan demikian, dilihat dari sejarahnya dan makna katanya, Tarung Sarung dan Perang Sarung merupakan dua hal yang berbeda.  Kebetulan dua-duanya menggunakan alat atau media yang sama, yakni sarung.

Yang cukup disayangkan, bahwa Perang Sarung yang cenderung berkonotasi negatif belakangan ini, secara tak langsung membawa efek dan konotasi negatif pada tradisi Tarung Sarung.  Suhamdani

Disarikan dari berbagai sumber

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com