JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Nasional

RUU Cipta Kerja Kian Menyudutkan Buruh Perempuan, Ini Buktinya

Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi massa di depan Gedung Parlemen, Jakarta, pada 20 Januari 2020 lalu. /Foto: Tempo.co
   

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Para pekerja, terutama pekerja perempuan semakin tersudutkan dengan bakal hadirnya UU Cipta kerja.

Pasalnya, racangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) itu mengubah sejumlah ketentuan cuti khusus atau izin yang tercantum dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Di antara perubahan itu adalah menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan.

Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan tersebut tercantum dalam Pasal 93 huruf a.

Selain itu, RUU sapu jagat ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b).

Baca Juga :  Pakar Sebut Konyol Menambah Jumlah Menteri di Tengah Beban Utang yang Meningkat

“Buruh perempuan semakin jauh mendapatkan hak kesehatan reproduksinya,” ujar Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos saat dihubungi Tempo Jumat (14/2/2020).

Dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, diatur bahwa pengusaha tetap diwajibkan membayar upah buruh/pekerja yang tak masuk jika buruh/pekerja dalam keadaan; sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan dan perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.

Selain itu, upah juga wajib dibayarkan jika buruh/pekerja tidak masuk bekerja karena menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.

Baca Juga :  Kesaksian 4 Pejabat Kemantan Sudutkan Syahrul Yasin Limpo, Takut Dipecat

Upah juga wajib dibayarkan jika buruh/pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara; menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; melaksanakan hak istirahat; melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Sementara dalam draf RUU omnibus ini, pengusaha tetap diwajibkan membayar upah buruh/pekerja yang tak masuk hanya jika buruh/pekerja berada dalam empat kondisi, yakni; tengah berhalangan; melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya dan telah mendapatkan persetujuan pengusaha; melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kesalahan pengusaha; serta tengah menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya.

“Banyak pasal yang dihilangkan, artinya menunjukkan bahwa RUU Cilaka itu memang sangat sarat dengan kepentingan kaum modal tapi mengabaikan hak, kemanusiaan, dan perlindungan buruh. Pemerintah semakin jauh dari kerja layak, hidup layak,” ujar Nining.

www.tempo.co

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com