JOGLOSEMARNEWS.COM Daerah Solo

Pakar Hukum UNS: Pemerintah Pusat Sengaja Hindari Tanggung Jawab terhadap Warga di Daerah yang Terapkan PSBB

Pengamat Hukum UNS, Prof Pujiyono Suwadi. Foto: Humas UNS
   

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Makin banyaknya pemerintah daerah yang mengajukan dan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus diapresiasi positif sebagai upaya yang kuat untuk menghentikan pandemi wabah Covid-19 di daerah masing-masing. Hanya saja, harus diukur efektifitasnya serta harus dipertegas sejauhmana tanggung jawab negara terhadap warga yang terkena dampak di wilayah yang menerapkan PSBB tersebut.

Pasalnya, regulasi dan kebijakan yang dipilih pemerintah pusat sejak awal virus ini menyerang Indonesia terlihat lebih mementingkan kepentingan ekonomi dan politik daripada meletakkan kepentingan kesehatan rakyatnya dalam penanganan pandemi wabah Covid-19.

Demikian ditegaskan Pakar Hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof Dr Pujiyono Suwadi SH, MH dalam perbincangan dengan JOGLOSEMARNEWS.COM . Pujiyono mennyebut kebijakan PSBB yang dipilih pemerintah pusat dan akhir-akhir ini banyak diterapkan pemerintah daerah yang mengajukan, dinilai belum cukup efektif untuk menanggulangi Covid-19 ini baik dari sisi pencegahan wabah maupun dampak sosial ekonominya.

“Regulasi (PSBB) itu tidak cukup kuat untuk menanggulangi dampak wabah Covid-19 ini dan justru menimbulkan persoalan baru. Baik dari sisi memutus mata rantai penyebaran penyakit, dampak ekonomi maupun dampak sosial lainnya seperti kriminalitas dan kejahatan lainnya,” ungkap Pujiyono.

Pujiyono menjelaskan, sebelumnya Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019. Disusul keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9).

Baca Juga :  Ini Nama Sejumlah Tokoh Yang Bakal Daftar Walikota Solo Melalui PSI

“Di dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 menyatakan bahwa diantara pilihan yang disediakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pilihan yang diambil oleh Presiden adalah PSBB, bukannya Karantina Wilayah seperti diharapkan sebagaian besar masyarakat.”

Dengan pilihan PSBB yang kemudian diadopsi oleh pemerintah daerah di tanah air, lanjut Pujiyono, tanggung jawab yang harus diambil oleh pemerintah tidak sebesar ketika memilih Karantina Wilayah. Dalam aturan ini masih menyisakan kekosongan aturan mengenai kewajiban negara terhadap warga di lokasi PSBB.

Dikatakan Pujiyono, kegiatan PSBB meliputi peliburan sekolah, Peliburan tempat kerja, dengan beberapa pengecualian, Pembatasan Kegiatan Keagamaan, Pembatasan Kegiatan di Tempat atau Fasilitas Umum, Pembatasan Kegiatan Sosial dan Budaya, Pembatasan Moda Transportasi dan Pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan, baik yang dilakukan oleh TNI maupun POLRI.

“Lantas apa kewajiban negara terhadap warga yang terkena dampak akibat pengenaan PSBB ini. Terutama persoalan ekonomi keseharian mereka. Karena mereka juga tidak bisa melakukan mobilitas mencari mata pencaharian. Belum lagi dampak ekonomi yang mandeg. Aturan ini masih menyisakan kekosongan aturan mengenai kewajiban negara terhadap warga di lokasi PSBB dan kanalisasi partisipasi masyarakat,” papar Pujiyono yang juga Wakil Dekan I UNS ini.

Baca Juga :  Ini Riwayat Singkat Tugu Lilin Pajang dan Tugu Lilin Penumping di Solo

“Pertanyaan sederhana adalah celah hukum atas pilihan PSBB yang tidak diatur, khususnya mengenai tanggung jawab negara terhadap warga yang terkena dampak PSBB seperti apa?. Sekali lagi regulasi mengenai PSBB tidak ada satupun yang menyebutkannya, sebagai contoh di dalam penetapan DKI Jakarta oleh Menkes sebagai wilayah PSBB, ada beberapa poin yang penting tidak satupun mengatur mengenai kewajiban negara terhadap warga yang terkena dampak PSBB.”

Pujiyono mencontohkan, dalam PSBB DKI Jakarta ada 3 hal pokok yang diatur. Pertama, soal menetapkan PSBB di wilayah DKI Jakarta, kedua mengatur kewajiban Pemda DKI Jakarta untuk melakukan PSBB dan mensosialisasikan hidup bersih, ketiga mengenai masa berlaku PSBB di DKI.

Disana tidak ada konsekuensi dan tanggung jawab negara kepada warga yang terkena dampak di lokasi PSBB. “Padahal konsekuensi ekonomi status PSBB sangat besar. Ada pemutusan hubungan kerja, ataupun pekerja dirumahkan akan menambah daftar pengangguran yang semakin meningkat karena lesunya ekonomi. Belum lagi persoalan kriminalitas yang meningkat. Belum lagi warga yang kesulitan cari makan dan dampak ikutan lainnya. Ini ada celah yang sengaja dihindari oleh pemerintah pusat karena butuh biaya besar, atau memang benar-benar tidak terpikirkan,” tandas Prof Pujiyono. A Syahirul

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com